Opini

Sunni Atawa Syiah

Oleh: Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Konflik politik di kawasan Timur Tengah, khususnya di Irak dan Suriah hingga kini, telah memunculkan pola baru konflik di kawasan tersebut yaitu proxy war. Ada konteks lain yang berpotensi menjadikan perang proxy di kawasan Timteng menjadi episentrum yang dampaknya meluas ke kawasan lain, yaitu pertarungan kepentingan dan pengaruh sejumlah negara utama, sebut saja Saudi dan Iran, yang menggunakan instrumen proxy, yaitu sentimen dan konflik Sunni (Salafi) versus Syiah.

Gerakan Syiah dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan agresivitas gerakannya di sejumlah negara, tentunya ditopang penuh oleh Iran. Pada sisi lain, gerakan Salafi juga menunjukkan agresivitasnya di sejumlah negara yang ditopang oleh Saudi. Arab Spring yang dalam waktu cepat diikuti oleh kontra Arab Spring juga telah menambah dimensi perang proxy di kawasan Timteng juga Afrika Utara. Jadi, peta konflik yang sedang terjadi di kawasan juga berciri multiaktor dan multivariabel. Tidak mudah diurai dan tidak mudah juga dibayangkan ujungremujungnya.

Muncul sejumlah analisis tentang agenda menciptakan peta baru negara-negara di kawasan Arab dan sekitarnya dan penataan hegemoni politik dan ekonomi baru di atasnya. Hampir semua negara di kawasan tersebut sibuk dalam orkestra tak beraturan. Turki sekalipun mengalami hal yang sama. Turki dihadapkan pada manajemen konflik yang melibatkan banyak variabel: Suriah, Iran, Rusia, Kurdi, ISIS, dan juga agenda konflik elite dalam negerinya. Dalam kasus perang di Suriah ada dua kekuatan yaitu Rusia, China, Iran, Hizbullah, dan sekutunya dengan kekuatan jihadis yang didukung oleh Arab Saudi, Qatar, Turki, Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya.

Baca juga: Menangkal Terorisme Dengan HAM

Efek Di Indonesia

Fenomena memburuknya hubungan Sunni dan Syiah ini tak lepas dari situasi geopolitik di Timur Tengah. Memburuknya konflik geopolitik di Timur Tengah pararel dengan situasi di tanah air. Beberapa daerah di Indonesia ikut mengalami ‘wabah’ konflik sektarian khususnya antara Sunni dan Syiah. Terutama seperti yang beberapa kali konflik terjadi di Jatim. Misalnya meletus peristiswa kekerasan yang berbalut agama yang terjadi di Puger Jember. Kasus konflik dan isu serupa yang terjadi di desa Karanggayam dan desa Bluuran kabupaten Sampang.

Peristiwa Puger meledak di saat proses rekonsiliasi konflik Sampang masih dalam tahap pematangan. Walaupun sebenarnya penyelesaian konflik di Puger sudah dilakukan di awal tahun 2012 dengan ditandatanagninya perundingan damai antar kedua belah pihak. Namun, nyatanya diluar dugaan semua pihak, eskalasi konflik yang melibatkan kelompok Sunni dan Syiah ini meninggi dan terjadilah peristiwa karnaval berdarah.

Di Jawa Timur, peristiwa konflik bertema Sunni-Syiah baik yang terjadi di Jember maupun Sampang ini sepertinya sebuah kelanjutan mata rantai dari peristiwa serupa yang terjadi di berbagai daerah di tahun-tahun sebelumnya. Sebut saja, mulai dari penyerangan sekelompok massa terhadap para pengikut IJABI yang terjadi di Desa Jambesari Kecamatan Jambesari Darussolah Kabupaten Bondowoso, pada tanggal 23 Desember 2006, insiden penyerangan pesantren YAPI yang berpaham Syiah oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan laskar Aswaja di Bangil Pasuruan serta ketegangan-ketegangan berskala kecil juga terjadi Malang.

Meskipun ajaran Syiah ini banyak tersebar di Indonesia dan juga pernah mengalam resistensi di daerah lain seperti di Pandeglang, Jabar dan Temanggung Provinsi Jawa Tengah, tampaknya tidak separah dan sebesar di Jawa Timur. Di Provinsi ini, eskalasi konflik dengan isu Sunni-Syiah semakin tahun mengalami peningkatan dan resistensi tehadap Syiah semakin menguat dan meluas di tengah masyarakat.

Lalu muncul asumsi-asumsi konspiratif yang mengitari rentetan letusan konflik bertema Sunni-Syiah. Bahwa ada unsur kesengejaan untuk menciptakan dan memelihara konflik Sunni-Syiah yang melibatkan kekuatan transnasional. Benarkah ada keterlibatan kekuatan transnasional di balik konflik bertema Sunni-Syiah ini?

Zbigniew Brzezinski dalam buku The Grand Chessboard (1997) pernah menganjurkan untuk diciptakannya sebuah “zona global kekerasan yang disebarkan secara bertahap,” ke wilayah-wilayah yang mencakup Asia Tengah, Turki, Rusia Selatan dan perbatasan Barat Cina. Ini juga termasuk seluruh wilayah di Timur Tengah, Teluk Persia (Iran), Afghanistan dan Pakistan. Bagi Zbigniew Brzezinski, hal ini bila benar-benar dalam menghadapi keadaan ancaman besar dan luas yang dianggap sebagai ancaman eksternal langsung.

Lebih menukik, Michael Brant, salah seorang mantan tangan kanan direktur CIA, dalam sebuah buku berjudul “A Plan to Devide and Destroy the Theology”, mengungkapkan bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Hal ini kemudian diperkuat oleh publikasi laporan RAND Corporation di tahun 2004, dengan judul “US Strategy in The Muslim World After 9/11″. Laporan ini dengan eksplisit menganjurkan untuk terus mengekploitasi perbedaan antara Sunni dan Syiah demi kepentingan AS di Timur Tengah.

Kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan politik-politik Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Iran yang sebelumnya tunduk dan patuh terhadap AS, pasca revolusi, justru lebih banyak menampilkan sikap yang berseberangan dengan negeri “Paman Sam” itu. Karenanya, AS merasa berkepentingan untuk menjaga agar konflik Sunni-Syiah itu tetap ada di wilayah Timteng demi melanjutkan hegemoninya di kawasan tersebut.

Fakta di lapangan menunjukkan analisis ini bukan halusinasi. Jauh sebelum revolusi Iran tahun 1979, sangat jarang ditemukan konflik terbuka antara Syiah dan Sunni, kecuali konflik yang bersifat sporadis di antara kelompok-kelompok kecil dari kedua kalangan di Irak, Libanon dan Suriah.

Di Indonesia, keberadaan kaum Syiah telah ada sejak dahulu kala. Sebelum-sebelumnya, di Indonesia hampir tak pernah ditemui konflik sektarian yang melibatkan antara Sunni-Syiah. Karenanya bagi sebagian pengamat, sangatlah mengherankan jika tiba-tiba Sunni-Syiah turut mewarnai konflik bernuansa SARA di Indonesia. Di ranah domestik, tampak jelas ada kepentingan di luar SARA yang turut berperan-bahkan mengambil porsi lebih besar-dalam konflik Sunni-Syiah di Indonesia.

Di Indonesia kepentingan tranasional Barat ini bersimbiosis dengan kekuatan kelompok Islam transnasional yang kemudian banyak diidentikan dengan gerakan Wahabisasi Global. Tujuan utama kelompok ini adalah dengan membuat dan medukung kelompok-kelompok lokal untuk membuat wajah Islam lebih keras serta berusaha memusnahkan pengamalan-pengamalan Islam yang lebih toleran yang lebih lama ada dan dominan di Indonesia.

Mengapa belakangan ini Sunni dan Syiah di Indonesia mengalami ketegangan sedemikian rupa? Gejala ini memang agak aneh, karena justru terjadi di daerah-daerah yang dikenal moderat. Sekira ada beberapa hal yang bisa digunakan untuk menjelaskan hal tersebut. Dunia Islam pada tingkat global terjadi persaingan yang sangat kuat antara Iran (Syiah) dengan Saudi Arabia (Sunni yang Wahabi). Saudi Arabia sebagai “pusat Islam” beserta jaringan-jaringannya mengerahkan segala upaya untuk menangkal perkembangan Syiah di Dunia Islam.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang dikenal moderat merupakan wilayah yang mudah dipengaruhi Syiah. Apalagi dengan bukti-bukti kedekatan kultural tentu sangat mengkhawatirkan Saudi Arabia. Dalam konteks inilah, kelompok-kelompok Salafi yang sangat dipengaruhi oleh doktrin Wahabisme yang sekarang tumbuh dimana-mana bertemu dengan kepentingan Saudi Arabia. Dalam konteks anti-Syiah, keduanya mempunyai kepentingan yang sama, membendung Syiah. Bagi kelompok Sunni-Salafi-Wahabis ini, Syiah dianggap sebagai kelompok yang sudah keluar dari Islam.

Menguatnya kelompok intoleran, terutama dari kalangan Sunni-Salafi-Wahabis ini berpengaruh ke mana-mana. Potensi ke arah tersebut bisa saja terjadi jika kalangan Sunni ekstrim dan Syiah ekstrim terus berdebat mengenai akidah yang pasti tidak akan berujung pada titik temu. Sunni-Salafi-Wahabis akan terus menerus mencari-cari kesalahan Syiah, sementara Syiah juga tak kalah cadas.

Keadidayaan pengaruh Saudi Arabia melalui kekuatan Sunni-Salafi-Wahabis ini ditandai dengan pelan-pelan terjadi pergeseran cara masyarakat Indonesia merespon perbedaan. Jika sebelumnya masyarakat Indonesia dikenal toleran dengan perbedaan, sekarang sudah mulai terjadi pergeseran yang penting diwaspadai.

Dengan adanya intrusi konflik dari global ke nasional, salah satu elemen keamanan nasional yang terancam adalah stabilitas sosial-politik. Penanganan konflik Sunni-Syiah yang masih berjalan di tempat membuat konflik ini menjadi “api dalam sekam”. Hal ini berakibat muncul sikap saling curiga antara warga Sunni dengan warga Syiah di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari semakin maraknya buku dan artikel di berbagai media Islam arus utama yang semakin sering menerbitkan tulisan tentang bahaya Syiah, sesatnya Syiah, dan isu-isu negatif lainnya.

Lalu Bagaimana?

Indonesia, negara muslim terbesar dunia, bisa jadi akan diseret untuk menjadi bagian dari perang proxy yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar aktor negara di belakangnya.

Pengendalian situasi-kondisi akan sangat ditentukan oleh tingkat kecepatan dan ketepatan aktor keamanan dalam deteksi dini, cegah dini, dan pre-emptive action. Persoalannya yang jauh lebih besar adalah bagaimana kebijakan politik luar negeri Indonesia menyikapi konflik kawasan yang berciri perang proxy dan multivariabel serta cenderung meluas ini. Selain itu, bagaimana Pemerintah Indonesia melakukan manajemen krisis untuk mengantisipasi dampak ikutan dari konflik kawasan tersebut. Seperti potensi konflik terbuka pengikut Sunni-Syiah, aksi-aksi teror nyata yang semakin terbuka, dan pengendalian terhadap faktor-faktor dalam negeri yang bisa menyuburkan konflik horizontal dan menyuburkan aksi-aksi teror tersebut.

Pada tataran suprastruktur, pengendalian situasi ini membutuhkan kepemimpinan dan manajemen pemerintahan yang solid dan efektif. Dengan itu, diharapkan pemerintah akan mampu memobilisasi arah, dukungan, dan partisipasi semua pihak untuk bekerja bersama-sama menjaga dan membangun Indonesia.

Ketegangan antara Sunni-Syiah ini menjadi satu kondisi yang mengancam keamanan nasional. Dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, dikatakan bahwa keamanan nasional adalah kondisi dinamis bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjamin 1) keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan warga negara, masyarakat dan bangsa; 2) terlindunginya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara; dan 3) keberlangsungan pembangunan nasional dari segala ancaman. Dampak konflik Sunni-Syiah ini setidaknya mengancam dua unsur di atas, yaitu kedamaian warga negara serta keberlangsungan pembangunan nasional.

Nah, Indonesia sebaiknya belajar dari konflik Sunni dan Syiah yang berawal dari Timur Tengah, pemerintah harus mampu menjaga keseimbangan kemungkinan potensi konflik. Konflik Sunni-Syiah telah terjadi disini, karenanya semua harus dikelola dengan bijak dan tidak berat sebelah. Era kebebasan demokrasi harus kita jaga dan kelola bersama, agar tidak menjadi dasar berkembangnya potensi konflik yang ada.

Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

42  +    =  45