Ekbis Hot Topic

Survei KHL: 76,8 Persen Buruh Terjerat Utang hingga Perpanjang Jam Kerja untuk Bertahan Hidup

Channel9.id – Jakarta. Komite Hidup Layak (KHL) merilis hasil survei bertajuk ‘Pengeluaran Rumah Tangga Buruh di 4 Sektor Industri dan 4 Provinsi’. Hasilnya, sebanyak 76,8 persen responden atau 139 buruh bertahan hidup dengan cara berutang. Rata-rata rumah tangga buruh memiliki pengeluaran utang sebesar Rp1.466.316,55 per bulan.

Survei ini digelar KHL pada 18 September 2023 hingga 18 Oktober 2023 di tiga kota dan delapan kabupaten di empat provinsi, di antaranya; Kota Sukabumi (Provinsi Jawa Barat); Kota dan Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten); Kabupaten Klaten, Grobogan, Boyolali, Sukoharjo, serta Kota dan Kabupaten Semarang (Provinsi Jawa Tengah), dan; Kabupaten Morowali dan Buol (Provinsi Sulawesi Tengah).

Jumlah sampel dalam survei ini sebanyak 181 responden yang terdiri dari pengurus atau anggota serikat buruh dan buruh yang tidak berserikat dari sektor manufaktur, gig economy (ojek daring), pertambangan, dan perkebunan. Survei menggunakan metodologi sampel yang ditentukan (purposive sampling).

Berdasarkan rilis hasil survei yang diterima Channel9.id, Kamis (30/11/2023), KHL menunjukkan porsi utang dalam pengeluaran rumah tangga sebesar 45,2 persen dari total pendapatan mereka.

“Karena pendapatan keluarga buruh sangat kecil, sementara harus tetap bertahan hidup, keluarga buruh terjerat utang baik ke rentenir, bank dan pinjaman online,” ujar Koordinator KHL Kokom Komalawati melalui keterangan tertulis, Kamis (30/11/2023).

Bahkan, di Industri Kelapa Sawit, ditemukan 30 persen upahnya untuk membayar utang koperasi perusahaan.

“Buruh panen di perkebunan rata-rata memiliki utang untuk pembelian alat kerja karena perusahaan tidak menyediakan alat kerja, seperti egrek,” ujar organisator buruh kebun dan tambang, Fatrisia.

Menurut Kokom, besarnya porsi utang dalam pengeluaran rumah tangga menandakan ekonomi rumah tangga buruh rapuh akibat kebijakan upah murah. Sebab, lanjutnya, keberlangsungan hidup rumah tangga harus ditopang dan dilayani dari utang.

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa layanan pinjaman keuangan berbasis komunitas arisan, perbankan, koperasi, hingga pinjaman online (pinjol) menjadi tumpuan hidup sebagian besar responden.

Selain berutang, untuk mempertahankan keberlangsungan rumah tangga, sebagian responden memperpanjang waktu kerja mereka dengan bekerja sampingan dan mengikuti lembur. Sebanyak 35,8 persen responden berasal dari industri manufaktur, pertambangan, dan perkebunan harus bekerja lembur.

Sementara, 21,5 persen responden mengaku harus menambah penghasilan dengan bekerja sampingan di sektor informal.

“Dalam jangka panjang, keadaan ini berbahaya bagi kelangsungan generasi keluarga buruh. Kualitas hidup buruh terus menurun demi menopang pertumbuhan ekonomi yang menjadi ambisi pemerintah,” jelas Kokom.

Tidak hanya bersiasat hidup melalui utang dan memperpanjang jam kerja, rumah tangga buruh juga melibatkan anggota rumah tangga untuk bisa mempertahankan keberlangsungan hidup. Sebesar 55,25 persen atau 100 orang responden harus melibatkan anggota rumah tangga bekerja di sektor informal atau formal. Tujuan dari pelibatan anggota rumah tangga ini untuk menambah sumber pemasukan rumah tangga.

Di sisi lain, memperpanjang jam kerja juga menambah risiko kerja kepada buruh seperti terjadinya kecelakaan kerja, ancaman kekerasan dan pelecehan berbasis gender hingga dampak jam kerja panjang bagi fisik dan mental. Hal ini juga semakin meningkatkan risiko terkena penyakit akibat kerja anggota rumah tangga buruh. Sehingga, berdampak pada pembesaran pengeluaran biaya kesehatan.

“Kalau buruh kebun ada yang disebut ‘buruh tempel’. ‘Buruh tempel’ merupakan jenis buruh yang diajak oleh buruh lain agar mencapai target pekerjaan di perusahaan. ‘Buruh tempel’ bekerja seperti buruh biasa tapi tidak mendapat jaminan apapun dari perusahaan karena upah dan keselamatannya ditanggung oleh buruh yang membawanya,” terang Fatrisia.

“Memburuknya kehidupan buruh di empat sektor ini, yaitu manufaktur, gig economy, pertambangan dan perkebunan merupakan bukti kuat bahwa penyelenggara abai terhadap hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan,” jelas organisator buruh dari Jawa Tengah, Tuti Wijaya Kusuma.

Baca juga: Survei KHL: Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Buruh Capai Rp 3,4 Juta per Bulan

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

11  +    =  12