Channel9.id, Jakarta – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memperhatikan wacana akan diadakannya Ujian Nasional (UN) pada tahun 2026. Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri meminta Kemdikdasmen jangan dulu gegabah menghidupkan kembali UN. Sebelum UN dicanangkan kembali, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan Kemdikdasmen.
Pertama, asesmen terstandar bagi murid yang diselenggarakan itu harus jelas tujuan, fungsi, anggaran pembiayaan, kepesertaan, instrumen, gambaran teknis, dan dampaknya.
Yang harus diperhatikan juga adalah kriteria asesmen bagi murid yang bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan, yaitu: 1) asesmen dirancang sesuai tujuan sistem pendidikan, 2) asesmen bersifat low-stake (tidak berisiko apapun terhadap capaian akademik murid), 3) asesmen yang memuat informasi komprehensif dari segi input, proses, dan output pembelajaran.
“Jika UN digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, ini jelas harus ditolak. Karena bersifat high-stakes testing bagi murid,” kata Iman dalam keterangan persnya, Jumat (3/1/2025).
Kedua, fungsi UN pada masa lalu mencampuradukan fungsi asesmen sumatif bagi murid, formatif bagi sekolah, bahkan dijadikan alat menyeleksi murid masuk ke jenjang pendidikan di atasnya dalam proses PPDB yang menggunakan nilai UN. Nilai UN tertera di belakang ijazah sebagai bentuk sertifikasi (penyertifikatan) capaian belajar siswa.
“UN pada masa lampau sangat tidak adil, hanya berorientasi kognitif, mendistorsi proses pendidikan itu sendiri, dan mengkotak-kotakan mana mata pelajaran penting dan yang tidak,” lanjut Iman.
Ketiga, era Anies Baswedan dan Muhajir Effendi sebagai Mendikbud, UN tetap diadakan tapi tidak lagi penentu kelulusan.
Iman melanjutkan, jika UN yang akan dikembalikan Mendikdasmen Abdul Muti seperti era Mendikbud Muhajir, ini dapat saja diberlakukan. Tetapi harus jelas tujuan, fungsi, skema, anggaran, kepesertaan, instrumen, teknis implementasi, dan dampaknya
“Apakah ujiannya berbasis mata pelajaran, apa saja? Empat mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran pilihan untuk SMA/SMK/MA? Atau justru semua pelajaran yang di-UN-kan?”, tanya Iman.
Menurutnya, skema UN yang pernah dilakukan di SMA/SMK/MA yaitu: 3 Mata Pelajaran Wajib ditambah 1 Mata Pelajaran Peminatan. Jelas ini mendiskriminasikan mata pelajaran wajib lainnya seperti Pendidikan Pancasila, PJOK, Seni Budaya dan Pendidikan Agama.
Kalau UN bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kurikulum, harusnya semua mata pelajaran dalam Standar Isi yang diujikan. Jika UN berbasis mata pelajaran, risiko biaya akan besar. Biaya UN dulu menguras APBN sampai 500 milyar.
“APBN untuk Kemdikdasmen tahun 2025 saja hanya Rp33,5 triliun. Rasanya anggaran UN yang besar itu akan mengganggu program prioritas pendidikan yang lain,” tambah Iman.