Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Proyek ini direncanakan dengan total investasi awalnya mencapai Rp.86,67 triliun. Dari jumlah ini, 75% atau Rp.65,25 triliun adalah pinjaman dari China Development Bank (CDB), sisanya 25% atau Rp.22 triliun ditanggung oleh PT KCIC dengan beban proporsional terhadap saham. PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) menanggung sebesar 60% atau Rp.13 trilun dan Beijing Yawan HSR sebesar Rp.9 triliun.
China tertarik untuk melakukan skema B2B pada proyek Kereta Api Cepat (KC) ini karena adanya peluang business model pengadaan TOD (transitoriented development) di jalur kereta cepat. Rencana akan ada TOD di Stasiun Halim, Karawang, Tegal Luar, dan Walini.
Pengelola KC mendapatkan konsesi fee atas setiap jengkal kawasan komersial yang ada di dalam TOD. Makanya tanah di TOD itu mahal sekali. Itulah motif mengapa China mau B2B tanpa jaminan APBN. Karena bisnis mereka sebenarnya bukan kereta cepat tapi jual kawasan TOD. Kereta cepat rugi juga gak apa-apa. Karena ditutup dari keuntungan TOD. Pendapatan dari TOD ini bisa mengembalikan seluruh biaya investasi KC yang mencapai Rp.100 triliun termasuk biaya TOD. Pendapatan TOD ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dan karenanya keberadaan KC tak lebih hanya bertujuan untuk meningkatkan Value dari proyek TOD. Artinya, kereta cepat hanya complimentary dari bisnis kawasan.
Rencananya di TOD itu akan dibangun block city dengan kawasan real estate, perkantoran, perhotelan, Hospital, Pusat Hiburan sekelas Disneyland, hingga pusat ritel. Masing-masing TOD akan mirip konsep Meikarta. Dengan layanan KC yang durasi tempuh dari pusat Jakarta atau Bandung hanya 15 menit. Kebayang kan, value tanah di TOD.
Dalam pelaksanaannya dibentuk Konsorsium antara BUMN Indonesia (60%) dan China (40%), PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Dari Indonesia adalah PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) menguasai saham 60%, yang merupakan konsorsium KAI (51,38℅), PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VII (1,21%) dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (8,3%). Dari China diwakili oleh Beijing Yawan HSR Co Ltd.
Ternyata sejak proyek digagas sampai tahun 2022 masing masing BUMN anggota konsorsium KCIC belum memenuhi setoran modal. Sementara pengerjaan proyek terus berlangsung. Bahkan sudah mencapai diatas 70% mendekati limit LTV, masalah setoran modal belum juga settle.
Dalam perkembangannya tanah yang direncanakan untuk TOD di Halim, Karawang, Tegal Luar, Walini tidak bisa dikuasai. Karena harga sudah terlalu mahal dan dibawah penguasaan para developer. Walau kita udah ada UU No. 2 Tahun 2012 namun KCCI tidak bisa berbuat banyak. Para pengembang yang menguasai lahan-lahan itu punya koneksi kuat dengan elite politik dan penguasa pusat dan daerah. Akhirnya diputuskan rencana TOD ditunda. Fokus kepada pembangunan KC dengan mengandalkan pengembalian pinjaman pada sumber pendapatan dari tiket dan lainnya. Disini terjadi penyimpangan skema. Apalagi belakangan terjadi cost overrun dalam pembangunannya. Akibatnya proyek menjadi gak feasible.
Ingat pinjaman yang diberikan oleh CDB itu bukan GtoG atau skema soft loan tapi komersial, mana mungkin bunga bisa 2%/pa seperti bunga soft loan. Lagian bagaimana CDB akan memberikan tambahan kredit kalau setoran modal belum settle. Dan secara resmi pemerintah belum teken sovereign guarantee.
Masalah pembiayaan kereta cepat ini sangat riskan terhadap komitmen pemerintah di hadapan investor asing. CDB itu lembaga kredit international. Taruhannya, credit rating Indonesia akan jeblok kalau sampai terjadi Indonesia default atas standar kepatuhan kredit.
Baca juga: Akal-akalan di Balik Bisnis OTC Emas
Solusinya. Serahkan saja proyek ini kepada pihak China dan penuhi requirement skema investasi BtoB yang melibatkan TOD sebagai jalan keluar. Paksa developer dan mafia tanah hengkang dari lokasi TOD. Sehingga urusan dengan utang yang dijamin APBN tidak ada lagi. Nanti pada waktu konsesi BOT berakhir, negara ambil alih sesuai kesepakatan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yaitu harus zero settlement/tanpa utang. Merdeka!!!
*Peneliti Lapeksi