Channel9.id – Jakarta. Pulau Serangan merupakan objek wisata yang dikenal dengan penangkaran penyu, sehingga kerap disebut sebagai ‘Turtle Island’.
Mulanya, Serangan merupakan pulau yang terpisah dari Pulau Bali. Letaknya berada di sebelah timur Pelabuhan Benoa atau bila dilihat di peta, berada di sebelah timur kaki Pulau Bali.
Pulau Serangan pun kini telah menyatu dengan Pulau Bali, yakni sejak bagian laut pulau itu direklamasi pada awal dekade 1990-an. Kini, Pulau Serangan dimiliki oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID).
Luas Pulau Serangan sebelum direklamasi hanya 101 hektare. Setelah direklamasi, luasnya menjadi 491 hektar. Meski diperluas, masyarakat tetap hanya menempati 101 hektar, sementara 491 hektare luas pulau itu dikuasai PT BTID.
Oleh karena itu, masyarakat pun hanya dijadikan penonton dan tak banyak memberikan dampak positif. Bahkan, dirasakan malah merugikan masyarakat, karena terkesan sangat ekslusif tanpa boleh disentuh masyarakat.
Saat ini, reklamasi BTID di Desa Serangan, Denpasar, sudah mendeklarasikan diri sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Namun, hingga saat ini diduga masih terus melakukan pengerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat.
Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) Martin Hadiwinata mengatakan, sebelum adanya reklamasi Pulau Serangan, wilayah tersebut merupakan wilayah tangkap nelayan, ruang untuk budidaya rumput laut, dan budidaya perikanan tradisional. Namun, wilayah itu kemudian dirampas dan diubah menjadi kawasan privat milik PT BTID.
“Kawasannya terkonversi dari yang perairan untuk masyarakat, yang terbuka untuk publik, jadi berubah menjadi daratan. Dan itu kan privat Pulau Serangan. Pemanfaatannya kan bukan untuk rakyat juga,” ujar Martin saat dihubungi Channel9.id, Rabu (21/6/2023).
Menurutnya, pesisir pantai dan perairan sejatinya adalah milik publik dan tidak boleh dikuasai oleh perusahaan dan menjadi milik privat, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Dalam Pasal 61 huruf (d) UU Nomor 26/2007, disebutkan bahwa Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Adapun penjelasan terkait kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain adalah sumber air dan pesisir pantai.
“Jadi, jika mengganggu akses publik terhadap pantai, itu adalah tindak pidana kalau berdasarkan Undang-Undang Tata Ruang. Pemilik resort, pemilik kawasan pariwisatanya, itu tidak bisa menutup akses publik terhadap pantai atau perairannya,” tutur Martin.
Dengan adanya pelanggaran tersebut, Martin mengatakan privatisasi pesisir pantai Pulau Serangan merupakan tindak pidana.
“Masyarakat harus diberikan aksesnya, tidak boleh dihalang-halangi, tidak boleh ditutupi. Dan saya tegaskan lagi, itu adalah tindak pidana,” tegasnya.
Baca juga: Ikan Kehilangan Mangrove, Reklamasi Pulau Serangan Disinyalir Langgar UU Perlindungan Nelayan
Baca juga: Menjadi Benteng Alam Bali, Pelabuhan Benoa Tidak Bisa Dijadikan Terminal LNG
HT