Channel9.id -Denpasar. Polemik pembangunan terminal khusus Liquid Natural Gas (LNG) Denpasar yang disebut Menteri Koordinator Maritim dan Investasi akan dibangun di lepas pantai masih hangat diperbincangkan.
Beberapa waktu yang lalu, Menko Marves, Luhut B. Panjaitan menyampaikan jika pembangunan tersus LNG akan di tarik sejauh 4 kilometer dari pantai, dengan pertimbangan tidak mengganggu pariwisata di Bali. Selain itu agar tidak menganggu lingkungan.
Terminal Khusus LNG yang akan dibangun di perairan Sidakarya Denpasar ini, sejatinya untuk pembangkit PLN Bali. Kajian atas beberapa lokasi pun sudah dilakukan. Selain Sidakarya, Tersus LNG juga sebelumnya akan dibangun di kawasan Pelabuhan Benoa.
Namun menurut Ketut Sudiarta Pakar Maritim dan Doktor Manajemen Perairan IPB Bogor, kawasan Benoa, di situ pintu masuk pelabuhan sempit, sementara kapal yang sandar disana banyak. Kapal tanker pembawa LNG tidak mungkin menunggu antrian, karena harus langsung menyuplai LNG ke Terminal.
“Sedari awal Menko Marvest menolak pembangunan di Benoa lahan yang dikuasai Pelindo,” katanya di Denpasar Bali.
Apalagi untuk sandar kapal kargo LNG ada masalah lingkungan jika dibangun di Benoa. “Kalau di sana harus memotong karang yang menjadi benteng alam yang melindungi tanjung Benoa. Karakter pantai Bali memiliki ancaman atas tsunami, sehingga benteng alam tidak boleh dirusak” katanya kepada media di Denpasar, 28/3/2023.
Selain itu, ada usulan untuk ditarik offshore ke tengah laut sekitar 4 km dari pantai. Ini pun usulan yang belum memiliki dasar kajian. “Kalau ditarik ke tengah laut sejauh 4 km, itu memotong alur pelayaran Benoa. Kalau dipaksa dibangun fasilitas FSRU LNG disana, harus ada perubahan alur pelayaran,” ujar Ketut Sudiarta.
Hal inilah yang tidak sesuai dengan prinsip Pemprov Bali yang juga disetujui semua pemangku kepentingan di Bali. Yaitu konsep membangun Bali, bukan membangun di Bali. Membangun Bali artinya harus menyertakan dan memberikan manfaat kepada masyarakat Bali.
Menurut Ketut Sudiarta, berlarut-larutnya rencana pembangunan Tersus LNG di Denpasar ini karena masalah ego sektoral. Dunia pariwisata khusus di sekitar kawasan Pantai Serangan misalnya karena Bali Turtle Island Devolepment (BTID) sepertinya tidak ingin view pantai dihalangi FSRU dan Kapal LNG.Padahal posisi tersus LNG ada di halaman belakang kawasan BTID, sama sekali tidak mengganggu pariwisata.
“Ini soal persepsi, masyarakat sekitar awalnya sama juga menolak karena tidak mengerti. Bayangan mereka akan ada kilang-kilang besar. Ternyata setelah tahu bukan model kilang mereka setuju karena akan dampak positif penataan kawasan, dan ini pantai belakang BTID beda dengan Benoa yang berada di halaman muka BTID” katanya.
Jadi pembangunan Bali harus terintegrasi. Pariwisata butuh listrik, maunya power plan di luar Bali. Namun itu tidak fair. Idealnya memang di perairan Sidakarya dan terintegrasi dengan penataan kawasan pantai Serangan, Intaran, Sidakarya dan Sesetan.
Jika tidak terintegrasi maka sama artinya membiarkan empat desa adat tetap kumuh sementara BTID dengan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang didanai uang negara di sebelahnya akan nampak mewah, ujar dosen ilmu kelautan Universitas Warmadewa Denpasar, Bali ini.
Padahal, menurut Ketut kawasan KEK kurang memberi andil secara langsung kepada masyarakat Bali. Tetapi semua ekses dari keberadaan KEK seperti sampah itu yang akan menanggung daerah, katanya.
Karena itulah, dengan pengkajian yang sudah ada di Perairan Intaran, serta penataan kawasan akan memberi nilai positif bahwa PLN membangun bersama masyarakat Bali.
“Every body happy, PLN memakai LNG lebih murah, penataan kawasan terjadi itu juga menguntungkan BTID terlebih masyarakat sekitar,” tegas Ketut Sudiarta.
Baca Juga : Warga Bali Gelar “Aksi Budaya” Turun Ke Jalan Dukung Tersus LNG di Sidakarya
Baca Juga : Dibuat Bingung Dengan Rekomendasi Kemenko Marves, Warga Desa Adat Ngadu Ke DPRD Bali
Baca Juga :Izin Lokasi Reklamasi Teluk Benoa Ditentang Nelayan