Channel9.id-Jakarta. Pada Jumat (14/1) lalu, koalisi jaksa agung negara bagian Amerika Serikat (AS)—yang dipimpin oleh Jaksa Agung Texas Ken Paxton—merilis keluhan antitrust baru terhadap Google. Mereka menduga adanya kolusi antara Google dan Facebook di pasar iklan terprogram (programmatic ad markets), dilansir dari Politico.
Keluhan itu pertama kali disampaikan pada November 2021. Disebutkan bahwa Google dan Facebook telah melakukan kolusi, terutama dalam proyek kolaboratif dengan nama kode “Jedi Blue” yang melihat memungkinkan mereka membatasi praktik penawaran tajuk atau iklan.
Baca juga: Spotify Akan Tampilkan Iklan di Sela-sela Podcast
Dilansir dari The Verge, kesepakatan “Jedi Blue” merupakan kolusi tertinggi kedua perusahaan tersebut—yang melibatkan Sundar Pichai, Sheryl Sandberg, dan Mark Zuckerberg. Dalam satu email ke Zuckerberg, Sandberg mengatakan, “ini adalah masalah besar secara strategis.” Khususnya, pengarsipan yang merujuk nama dan jabatan Zuckerberg dan Sandberg, namun menyuntingnya.
Saat dihubungi untuk dimintai komentar, Google membantah klaim yang menyebutkan bahwa Pichai secara pribadi terlibat dalam kesepakatan “Jedi Blue”.
“Pernyataan AG Paxton tidak akurat. Kami menandatangani ratusan perjanjian setiap tahun yang tidak memerlukan persetujuan CEO, dan ini tak ada bedanya,” ujar perwakilan Google Peter Schottenfels.
“Bertentangan dengan klaim AG Paxton, fakta dari perjanjian ini tidak pernah menjadi rahasia—sebab itu dipublikasikan dengan baik,” lanjut Shottenfels. “Ini justru memungkinkan FAN dan pengiklan untuk berpartisipasi dalam open bidding (red: penawaran terbuka), seperti yang dilakukan oleh lebih dari 25 mitra lainnya. Itu membantu meningkatkan permintaan ruang iklan penerbit dan membantu penerbit memperoleh lebih banyak pendapatan.”
Implikasi hukum dari tuduhan tersebut masih diperdebatkan, dan perbedaan antara praktik bisnis normal dan perilaku monopoli juga akan diperdebatkan di pengadilan. Meski begitu, koalisi jaksa agung itu menemukan bahwa kedua raksasa iklan itu tampaknya akan menjalin duopoli kolaboratif.
Sebagian besar keluhan berfokus pada konsesi yang diduga dibuat Google untuk Facebook. Salah satunya, sebagaimana kesepakatan “Jedi Blue”, Facebook mendapat biaya yang lebih murah dan punya waktu yang lebih lama sebelum open bidding. Disampaikan pula bahwa Facebook juga mendapat keuntungan dari hal tersebut.
Sebuah studi yang dilakukan pada 2019 terhadap Facebook mendapati bahwa Facebook lebih sering menang dalam open bidding di Google, jika dibandingkan dengan platform lain. Pada saat yang sama, harga rata-rata yang dibayar Facebook per tayangan lebih murah daripada platform lain.
Sementara itu, Google menyangkal klaim yang menyebutkan bahwa Facebook dan jaringan iklannya mendapat keuntungan dari open bidding secara struktural. “FAN harus mengajukan tawaran tertinggi untuk memenangkan tayangan tertentu,” kata Shottenfels. “Jika jaringan lain yang memenuhi syarat atau menawar lebih tinggi, mereka memenangkan bidding.”
Untuk diketahui, keluhan itu muncul ketika Google dituduh melakukan melanggar kebijakan antimonopoli. Ini termasuk kasus antimonopoli yang berfokus pada manipulasi pencarian dan pengelolaan di Google Play Store. Namun, keluhan yang dipimpin oleh Texas bisa dibilang yang paling penting bagi perusahaan, yakni dengan yang berfokus pada jaringan iklan terprogram, karena memberi pendapatan yang signifikan bagi perusahaan.
(LH)