Opini

Stadion Bung MH Thamrin dan Sepakbola Boemi Poetera

Oleh: Indra Jaya Piliang*

Channel9.id-Jakarta. Ribuan warga sudah tanda-tangan petisi berisi usulan, sekaligus dukungan, agar Muhammad Husni Thamrin dijadikan nama pengganti Jakarta International Stadion. Aktor intelektual dari petisi itu JJ Rizal, sejarawan berdarah seni kental sejak pelajar, aktivis organis, dan “dukun” yang tak percaya pada naskah ‘Toekang Kritik Telah Mati’.

M.H. Thamrin merupakan pahlawan nasional yang bergerak lewat jalur pemerintahan dan Volksraad. Seperti JJ Rizal, jiwa aktivisme Thamrin dibangun sejak lahir. Thamrin berdarah Indo Belanda. Usai sekolah, Thamrin bekerja di maskapai perkapalan Belanda yang banyak dipengaruhi partai-partai buruh di Eropa.

Kehadiran Thamrin di panggung pemerintahan, yakni Wakil Walikota Batavia, tidak terlepas dari pemogokan kaum Betawi guna menolak pegawai berkebangsaan Belanda totok yang arogan, tak cakap, dan minim pengalaman. Walau beresiko tinggi, pemogokan itu berbuah hasil. Thamrin bukan pilihan pertama, tetapi sangat didukung tokoh-tokoh nasionalis.

Hindia Belanda telah membagi penduduk menjadi tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Boemi Poetera. Walau berdarah Eropa, Thamrin bersama ayahnya, lebih suka memilih posisi sebagai Boemi Poetera. Menjadi Boemi Poetera adalah kemuliaan, ketimbang kehinaan.

Dengan pola rust en orde, strata sosial berdasar golongan itu menyebar ke seluruh lini kehidupan. Tidak saja bagi jabatan-jabatan di pemerintahan, juga ekonomi, politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.

Tidak terkecuali dalam panggung olahraga. Bertentangan dengan prinsip-prinsip utama penyelenggaraan olimpiade dalam cabang-cabang olahraga yang diputuskan, seperti sportivitas dn objektivitas, parameter genetika ternyata jadi saringan awal. Sepakbola, olahraga populer, termasuk olahraga yang terkena dampak pembagian dan bahkan penolakan atas golongan yang lain. Sebermula dimainkan di lapangan, sepakbola langsung tercerabut dari nilai-nilai persamaan antar manusia. Ukuran yang disematkan sudah mengenal kasta dan kastil.

Guna melibatkan diri dalam kompetisi antar negara, pada 1918 terbentuk Nederlandsch Olimpisch Indie Comite (NOIC) di Hindia Belanda. Seluruh pengurus NOIC adalah orang Belanda, kasta teratas dalam struktur kolonial.

Nederlandsch Indie Voetbal Bond (NIVB) menjadi salah satu cabang olahraga yang berinduk kepada NOIC. NIVB memiliki anggota, berupa perkumpulan sejenis di tingkat kota (bonden). Pengurus bonden itu sudah pasti berkebangsaan Belanda atau ditnjuk dari orang yang bersikap kooperatif dan kompromistis dengan kepentingan kolonial. Kaum Boemi Poetera sama sekali tidak diperbolehkan ikut serta. Anjing peliharaan noni-noni jauh lebih sering ikut ke tengah lapangan, mengejar bola, dibanding kaum boemi poetera.

Sebanyak itu warga pendudukan yang kooperatif, tentu lebih banyak lagi yang non kooperatif, atau lebih tepat non kooperasi. Mereka tidak bakal mau terlibat dalam keanggotaan atau jabatan menggiurkan apapun. Sembari menghindar, mereka terus berusaha membentuk Bukan berarti tidak ada niat baik dari perkumpulan sepakbola yang terdiri dari orang-orang inlanders. Mereka berkirim surat kepada NOIC guna meminjam lapangan sepakbola, guna kegiatan amal. Gayung tak bersambut.

Di antara perkumpulan sepakbola itu, terdapat Voetbalbond Boemi Poetera (VBB) yang berdiri pada 28 November 1928, sebulan setelah peristiwa Soempah Pemoeda. Kehadiran VBB tidak terleps dari sikap non kooperasi, bahkan konfrontasi, dengan perkumpulan organisasi sepakbola Jakarta, yakni Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO). Konflik tak terhindarkan, terutama dalam perebutan lapangan sepakbola. VBB dibubarkan NIVB.

Setahun kemudian, tanggal 30 Juni 1929, VBB bersalin rupa menjadi Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ). Tak tanggung-tanggung, nama Jacatra dikonfrontasikan dengan nama Batavia. VIJ versus VBO. Nama Indonesia kian sering digunakan, sebagai pembeda dengan Nederlandsch Indie.

Semangat Kongres Pemuda II berpengaruh pada pendirian itu. Lapangan Petojo, belakang bioskop Roxy, menjadi lokasi utama VIJ untuk latihan dan pertandingan. Stadion VIJ Petojo, begitu nama lapangan legendaris itu sekarang, berlokasi di Jalan Petojo VIJ, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat.

Kondisi awal lapangan sepakbola itu tentu berbeda dibandingkan lapangan sepakbola yang dikelola oleh VBO. Jangankan bangku tempat duduk, lapangan itu masih kerap dimasuki hewan ternak penduduk. Tanpa pagar sama sekali. VBO mendapatkan dana dari pemerintah Hindia Belanda, sehingga dikenal sebagai organisasi sepakbola plat merah. Pembiayaan VIJ murni dari masyarakat.

Tokoh yang berjasa bagi pembangunan awal lapangan sepakbola itu tentu Muhammad Husni Thamrin. Sekalipun duduk di Volksraad dari ‘daerah pemilihan’ Sawah Besar, tetap saja Petojo bukan area yang asing, sebab terletak bersebelahan. Guna membangun pagar sekeliling lapangan sepakbola yang diperjuangkan dengan keras itu, Thamrin meminjamkan uang kepada VIJ sebesar 200 gulden. Bukan hanya sekali, berkali-kali Thamrin meminjamkan uang, lalu dicicil bertahun-tahun. Hingga tahun 1950 VIJ masih punya utang sebesar 440 gulden kepada Thamrin. Padahal, VIJ yang sudah berganti nama menjadi Persija, melakukan merger dengan VBO, setelah peristiwa Penyerahan Kedaulatan dari tangan Belanda kepada Indonesia.

Apa arti penting perubahan nama Jakarta International Stadion menjadi Stadion MH Thamrin?

Bukan saja menyesuaikan diri dengan peraturan perundangan, namun menggali lebih luas arti kehadiran para tokoh nasional dalam pentas juang masing-masing. Dalam skema yang umum, sejarah Indonesia terlalu ditulis dalam balutan politik. Pengetahuan tentang MH Thamrin, begitupun tokoh-tokoh lain, terbatas kepada pidato-pidato dalam Volksraad, misalnya. Bukan peminat sepakbola yang merogoh isi kocek sendiri demi kemajuan olahraga itu. Padahal, jauh lebih penting mengetahui aspek-aspek yang diluar politik terhadap tokoh nasional sekelas Thamrin, ketimbang hanya catatan kontribusi dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka.

Tan Malaka, misalnya, adalah sosok yang serva lengkap. Tan bermain tonil, ketika bersembunyi di Dayah, Banten. Begitu pula ‘kelakuan’ Sutan Syahrir yang bermain teater dengan sosok Des Alwi remaja di pantai.

Dengan memberi nama Stadion MH Thamrin, sudah barang tentu pemanfaatan stadion itu tak sebatas hanya mendatangkan klub-klub sepakbola ternama, tetapi justru “terlarang” bagi kaum Boemi Poetera menggunakan. Keterbatasan ruang publik, membuat anak-anak remaja lebih memilih bermain bola di Terminal Senen, misalnya, pada malam hari. Begitu pula anak-anak lain, terpaksa menutup jalan-jalan Geng Senggol, guna bermain sepati roda, begitu pula kaum ibu untuk kegiatan senam di hari libur.

Nama Thamrin sangat kuat dijadikan simbol memerdekakan bukan saja bangsa, tetapi sekaligus stadion sepakbola menjadi tak sekadar main bola. JJ Rizal dan kawan-kawan, sangat tahu itu.

Panglima Sang Gerilyawan Batavia (2016-2017)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  16  =  24