Opini

Penghinaan yang Terlambat

Oleh: Muhammad Bambang Pontas Rambe

Channel9.id-Jakarta. Seseorang berkata bahwa program makan bergizi gratis untuk anak-anak sekolah di Indonesia adalah sebuah “penghinaan.” Kata-kata itu—makan dan hina—berputar di benak saya, seolah dua hal yang seharusnya tak saling bersinggungan. Apa yang begitu hina dari makan? Saya teringat pada puisi Rendra tentang buruh tani yang makan seadanya, tanpa mereka pernah mengeluh soal harga diri yang terluka oleh sebungkus nasi.

Kata-kata itu terlontar dari Ryas Rasyid, yang mungkin melihat bangsa ini dari ketinggian, seperti dewa di atas langit yang menatap bumi dari angkasa. Ia berkata bahwa program makan gratis bagi anak-anak itu seperti berkata bahwa bangsa ini “hina.” Dalam pandangannya, seolah Indonesia adalah negara yang telah begitu tenggelam dalam kehinaan hingga makan pun menjadi simbol dari kekalahan, dari ketergantungan.

Namun, kata “hina” tak seharusnya begitu mudah disematkan pada hal yang sederhana seperti makanan. Makan adalah kebutuhan dasar, yang diakui oleh setiap peradaban. Bahkan dalam Al-Quran, dalam kitab-kitab suci lainnya, makanan selalu menjadi perumpamaan akan berkah dan cinta kasih. “Kami telah memberikan makan kepada kalian,” kata Tuhan. Apakah Tuhan juga sedang menghina?

Di Finlandia, Swedia, Jepang, dan Amerika Serikat, program makan gratis bukanlah simbol penghinaan. Negara-negara ini, yang ironisnya sering kita pandang sebagai contoh kemajuan, tak merasa direndahkan ketika mereka memberikan sarapan dan makan siang kepada anak-anak sekolahnya. Justru, mereka bangga karena program itu membuat anak-anak lebih fokus belajar, lebih sehat, dan lebih siap menghadapi masa depan. Dari program yang sederhana, terlahir generasi yang kuat.

Ryas Rasyid, dalam kritiknya, mungkin lupa bahwa makan gratis di sekolah bukanlah soal siapa yang hina atau tidak. Ini adalah soal investasi. Investasi pada manusia, pada generasi yang akan datang. Ia mungkin terlalu sibuk menimbang harga diri bangsa hingga lupa bahwa harga diri itu dibangun dari dalam, dari kesehatan, kecerdasan, dan kemampuan warganya untuk berprestasi.

Dalam narasi besar tentang bangsa, kita kerap terjebak dalam romantisme yang merendahkan kenyataan. Kita bicara tentang kejayaan masa lalu, sementara anak-anak di pedalaman harus menahan lapar di sekolah. Kita mengagungkan kemandirian, tetapi lupa bahwa generasi yang lapar tak akan mampu berdiri tegak menghadapi tantangan zaman. Kita bangga menjadi bangsa yang besar, tetapi bukankah bangsa yang besar harusnya merawat yang kecil?

Dunia berubah cepat, dan di tengah perubahan itu, pemerintah-pemerintah modern justru berlomba-lomba menghapus stigma antara si kaya dan si miskin. Di negara-negara maju, anak-anak tak lagi dibedakan dari latar belakang ekonomi mereka. Makan siang di sekolah menjadi hak, bukan belas kasihan. Sebuah gagasan yang—bila dipikirkan dalam-dalam—lebih dekat dengan kesetaraan, bukan penghinaan.

Namun di sini, kita masih terjebak dalam logika lama: bahwa setiap bentuk bantuan adalah tanda kelemahan. Seolah, menerima bantuan dari negara berarti menyerah pada kehinaan. Pandangan ini kerdil, mengabaikan fakta bahwa negara—di manapun—memang seharusnya hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya, terutama mereka yang masih kecil dan rentan.

Sebagai bangsa, mungkin kita belum terbiasa melihat kebijakan sosial sebagai langkah maju. Kita masih terperangkap dalam fantasi tentang kehebatan yang diukur dari kemandirian semu. Kita belum sepenuhnya menerima bahwa martabat itu lahir bukan dari menolak bantuan, tapi dari membangun masyarakat yang sehat dan berdaya. Martabat itu lahir dari rasa saling menjaga, bukan dari sikap mengabaikan yang paling membutuhkan.

Mungkin Ryas Rasyid terlambat melihat bahwa dunia sedang berubah. Makan gratis bukan lagi soal harga diri yang terluka, melainkan soal memastikan bahwa setiap anak punya kesempatan yang sama untuk berkembang. Sebuah kesempatan yang—kalau dipikir-pikir lagi—adalah hak, bukan penghinaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  82  =  84