Opini

Ancaman Gagal Bayar Utang BUMN NonKeuangan

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. PT Garuda Indonesia menyatakan gagal bayar utangnya berupa sukuk global senilai US$500 juta atau sekitar Rp7,25 triliun. Alasannya, kesulitan likuiditas akibat situasi pandemi dan tekanan beban utang. Kini sedang dalam proses negosiasi untuk restruktrurisasi utangnya.

Kejadian tersebut mengundang pertanyaan tentang bagaimana kondisi berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya yang juga terdampak pandemi, padahal memiliki beban pembayaran utang yang besar. Terutama jika berutang kepada pihak asing. Sayang, publik biasanya terlambat memperoleh informasi. Sejauh berbagai pemberitaan, ada beberapa BUMN yang tengah kesulitan likiuditas dan terancam gagal bayar utang dalam beberapa bulan hingga setahun mendatang.

Data statistik resmi dari Bank Indonesia sebenarnya telah memberi indikasi tentang beratnya beban pembayaran utang BUMN telah tampak sebelum pandemi. Terutama dalam hal utang luar negeri. Pandemi membuat kondisinya makin memburuk.

Pertama, dari Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI) yang dipublikasi oleh Bank Indonesia untuk kondisi triwulanan. Data terkini adalah SUSPI triwulan I-2021 yang dipublikasi akhir Juni. Disebutkan posisi Utang Sektor Publik (USP) per akhir Triwulan I-2021 sebesar Rp12.474 triliun.

USP terdiri dari Pemerintah sebesar Rp6.521 triliun (52,27%), perusahaan keuangan publik sebesar Rp4.856 triliun (38,93%), dan perusahaan publik nonkeuangan publik sebesar Rp1.097 triliun (8,80%).

BUMN tercakup dalam perusahaan keuangan publik dan perusahaan publik nonkeuangan. Namun, ada sedikit utang Bank Indonesia dalam kategori perusahaan keuangan publik.

Data SUSPI tentang utang BUMN tampak berbeda dengan data Pemerintah atau Kementerian BUMN. Sebagai contoh, posisi utang BUMN per akhir tahun 2020 menurut Pemerintah telah mencapai Rp7.789 triliun. Sedangkan utang perusahaan publik keuangan dan nonkeuangan SUSPI hanya sebesar Rp5.954 triliun.

Untuk analisis, salah satu yang penting adalah mencermati secara “apel dengan apel”. Dalam tulisan ini akan dipakai data SUSPI, untuk menilai kondisinya. Oleh karena otoritas sering berkilah dengan penjelasan bahwa dana pihak ketiga di bank-bank BUMN dicatat sebagai utang, maka akan lebih disajikan analisis utang perusahaan publik nonkeuangan.

Utang perusahaan publik nonkeuangan atau yang merupakan BUMN sektor nonkeuangan, telah meningkat pesat selama era 2014-2019. Artinya, sebelum ada pandemi. Posisinya pada 2014 sebesar Rp504,66 triliun meningkat menjadi Rp1.004,26 triliun pada 2019. Posisinya meningkat menjadi hampir 2 kali lipat (199%), lebih tinggi dari keseluruhan USP (175%).

Pandemi telah meningkatkan USP, menjadi Rp12.474 triliun pada triwulan I-2021 atau bertambah 23,35% dari posisi akhir tahun 2019. Sedangkan untuk perusahaan publik nonkeuangan menjadi Rp1.097 triliun atau hanya bertambah 9,27%.

Dapat diartikan posisi utangnya sejauh ini bertambah terutama bukan karena dampak pandemi. Berbeda dengan kondisi utang pemerintah, yang bertambah sangat signifikan karena pandemi. Soalannya lebih pada kemampuan membayar utangnya yang menurun.

Salah satu risiko utang BUMN bukan lembaga keuangan adalah terkait fluktuasi kurs rupiah. Porsi utangnya dalam valuta asing mencapai Rp735,75 triliun atau 67,04% dari total utangnya. Porsi ini jauh lebih besar dari keseluruhan utang sektor publik yang hanya 29,54%.

Sebagian utang dalam valuta asing itu sebenarnya kepada pihak domestik. Utang kepada kreditur asing sebesar Rp686,54 triliun atau 62,56%.

Sementara itu, produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh kelompok BUMN ini justeru banyak dipasarkan ke dalam negeri atau bernilai rupiah.

Beban pembayaran utang terindikasi pula dari utang jangka pendek berdasar waktu sisa, atau yang harus dilunasi hingga setahun ke depan. Dilihat secara porsi, utang jangka pendeknya memang hanya 18,29% dari totalnya. Namun dilihat secara nominal mencapai Rp200,76 triliun. Sebagai gambaran, gagal bayar dari Garuda Indonesia itu “hanya” sekitar Rp7,25 triliun.

Kedua, dari data Statistik Utang Luar negeri Indonesia (SULNI) yang dipublikasi Bank Indonesia tiap bulan. Data terkini adalah kondisi akhir Mei 2021, yang dipublikasi pada akhir Juli. Posisi Utang Luar Negeri (ULN) BUMN sebesar US$59,54 miliar pada akhir Mei 2021.

SILNI menggolongkan ULN BUMN sebagai ULN Swasta. Hal itu sesuai dengan peraturan dan sesuai “panduan” internasional. ULN swasta sebesar US$208,70 miliar mencakup ULN BUMN sebesar US$59,54 miliar (28,53%) dan yang bukan BUMN sebesar US$149,16 miliar (71,47%).

Porsi ULN BUMN tampak meningkat pesat selama beberapa tahun terakhir, melampaui swasta yang bukan BUMN. Porsinya pada akhir 2014 hanya sebesar 18,77%.

SULNI merinci posisi ULN BUMN ke dalam 3 kelompok. Kelompok Bank BUMN sebesar US$9,69 M atau 16,27% dari total ULN BUMN. Kelompok BUMN yang Lembaga Keuangan Bukan Bank sebesar US$2,42 M (4,07%). Kelompok BUMN Bukan Lembaga Keuangan sebesar US$47,43 M (79,66%).

Kelompok yang bukan lembaga keuangan meningkat pesat selama era tahun 2015-2021. Antara lain mencakup kelompok BUMN karya, sektor energi, sektor perhubungan, dan lain-lain. Contoh BUMN Karya adalah PT. Hutama Karya, Waskita Karya, dan Adhi Karya. Contoh sektor energi adalah PLN dan Pertamina. Contoh sektor perhubungan adalah Garuda Indonesia dan Kereta Api Indonesia.

Salah satu yang perlu dicermati terkait risiko pembayaran utang adalah hubungan dengan pihak kreditur. Tidak tersedia informasi khusus ULN BUMN tentang ini. Untuk keseluruhan ULN swasta yang bukan lembaga keuangan: perusahaan induk (44,42%), perusahaan afiliasi (7,49%), dan lainnya (48,10%).

Selain BUMN, dalam kelompok perusahaan bukan lembaga keuangan ini terdapat swasta asing, swasta campuran, dan swasta nasional.

Meskipun tidak disajikan data yang lebih rinci lagi, kemungkinan besar pihak BUMN dan swasta nasional tidak banyak memiliki kreditur berupa perusahaan induk ataupun perusahaan yang terafiliasi di luar negeri. Dengan kata lain, memiliki risiko lebih tinggi dibanding pihak swasta asing dan swasta campuran, yang cukup banyak berutang kepada pihak terkait di luar negeri.

Dari uraian di atas, beban pembayaran utang kelompok BUMN bukan lembaga keuangan jelas sangat berat saat ini hingga setahun mendatang. Berita gagal bayar Garuda Indonesia mungkin baru permulaan. Sebelumnya, Garuda Indonesia sebenarnya telah “dibantu” dengan berbagai skema, antara lain memperoleh investasi pemerintah sebesar Rp8,5 triliun pada tahun 2020.

Meskipun belum disampaikan secara jelas, usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) oleh Menteri BUMN pada tahun 2022 merupakan hal terkait dengan ancaman gagal bayar ini. Diusulkan PMN sebesar Rp72,44 triliun. Antara lain yang dapat diduga terkait beban utangnya adalah kepada: Hutama Karya (Rp31,35 triliun), Kereta Api Indonesia (Rp4,1 triliun), Waskita Karya (Rp3 triliun), Adhi Karya (Rp2 triliun).

Baca juga: Tidak Tepat, Dukungan UMKM dan Korporasi Dijadikan Satu Klaster 

Bahkan, Waskita Karya dan Kereta Api Indonesia direncanakan akan memperoleh PMN pada 2021, masing-masing sebesar Rp7,9 triliun dan Rp6,9 triliun. Rencana itu belum dialokasikan pada APBN 2021, namun telah disampaikan sebagai tambahan pada laporan semester I APBN 2021.

Perlu diketahui pula bahwa PT. Hutama Karya telah memperoleh PMN sebesar Rp10,5 triliun pada tahun 2019, atau sebelum pandemi. Pada 2020, semula dialokasikan Rp3,5 triliun, dalam realisasinya menjadi Rp11 triliun. Pada 2021, semula dialokasikan Rp6,2 triliun, akan ditambah menjadi Rp25,2 triliun. Dan dari pemberitaan, diusulkan menerima PMN lagi pada tahun 2020 sebesar Rp31,35 triliun.

Cukup mengejutkan juga yang termasuk diusulkan memperoleh PMN pada tahun 2022 adalah Bank BNI sebesar Rp7 triliun dan Bank BTN sebesar Rp2 triliun. Kondisi umum keuangan kedua Bank itu belum diberitakan kesulitan, dan laporan keuangan tahunan 2020 masih tampak baik. Hal ini bisa menimbulkan spekulasi bahwa mereka akan didorong untuk membantu BUMN yang kesulitan membayar utang, terutama kepada pihak asing.

Soalan ancaman gagal bayar utang beberapa BUMN nonkeuangan ini menjadi kompleks ditengah beban keuangan pemerintah yang masih sangat berat dalam menangani pandemi. Pemerintah dituntut memilih prioritas yang benar dan menimbang berbagai faktor.

*Ekonom

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  20  =  26