Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id–Jakarta. Pidato Presiden Prabowo Subianto di Majelis Umum PBB (UNGA) pada 24 September 2025 menandai sebuah perubahan yang mengejutkan sekaligus berani bagi Indonesia. Selama ini, Indonesia dikenal sebagai pendukung setia perjuangan rakyat Palestina, terutama dalam kerangka hak menentukan nasib sendiri. Namun kali ini, Prabowo menekankan pentingnya solusi dua negara yang menyeimbangkan pengakuan kenegaraan Palestina dengan jaminan keamanan Israel. “Only then can we have real peace,” seru Prabowo di hadapan forum dunia.
Pidato itu tidak lahir dalam ruang hampa. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 7 April 2025, Presiden Prabowo ikut menghadiri pertemuan trilateral di Kairo bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, dan Raja Yordania Abdullah II. Pertemuan itu menghasilkan komunike bersama yang menegaskan tata kelola Gaza harus dipegang Otoritas Palestina yang diperkuat. Macron bahkan menolak segala bentuk pemindahan warga Palestina, serta mendukung rencana pembangunan kembali Gaza melalui mekanisme Liga Arab, bukan melalui skema “pemindahan penduduk” yang sempat diwacanakan Amerika Serikat.
Bila ditarik ke belakang, posisi Indonesia di PBB selalu konsisten membela Palestina. Sejak era Presiden Soekarno, semangat Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 adalah melawan kolonialisme dalam bentuk apapun. Palestina dilihat sebagai “saudara sebangsa dan setanah air” dalam narasi moral bangsa Indonesia. Namun, di bawah Prabowo, pendekatannya lebih pragmatis. Ia tidak mengingkari tradisi diplomasi Indonesia, tetapi mencoba menambahkan elemen realisme politik: perdamaian hanya mungkin bila kedua belah pihak, Palestina dan Israel, mau berbagi ruang dan kedaulatan.
Menurut penulis, sikap ini memiliki relevansi ilmiah dan historis. Studi DNA yang dipublikasikan di Cell Journal pada 2020 menunjukkan lebih dari 50% warga Palestina dan Yahudi memiliki garis keturunan yang sama, yakni kaum Kanaan kuno ribuan tahun lalu. Data genetika ini menantang narasi “kita versus mereka” yang selama puluhan tahun membelah dua bangsa tersebut. Bila keduanya sejatinya bersaudara dalam sejarah biologis, maka klaim eksklusif atas tanah pun seharusnya luntur. Yang lebih penting bukan siapa lebih dulu mendiami, melainkan bagaimana keduanya bisa berbagi demi keberlangsungan hidup.
Pendekatan Prabowo tentang solusi dua negara bukanlah utopia. Ia adalah realpolitik yang menghitung manfaat jangka panjang. Ribuan nyawa bayi, balita, dan anak-anak bisa terselamatkan dari siklus kekerasan bila ada kejelasan struktur politik baru. Indonesia bahkan menawarkan pengerahan 20.000 pasukan penjaga perdamaian di Gaza, sebuah langkah berani yang didukung oleh rencana AS memperkuat kapasitas peacekeeping di kawasan. Dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan reputasi sebagai negara moderat, Indonesia berpotensi menjadi mediator netral yang kredibel.
Tentu saja, langkah ini tidak tanpa risiko. Publik dalam negeri yang terbiasa dengan narasi “solidaritas penuh untuk Palestina” bisa saja menilai sikap ini ambigu. Namun, jika dilihat lebih jauh, posisi Prabowo justru memperluas ruang diplomasi. Ia tidak menutup pintu bagi Palestina, tetapi membuka jendela baru untuk mempertemukan dua pihak yang selama ini hanya berinteraksi lewat kekerasan.
Sikap Israel saat ini, yang menolak negara Palestina, memang kontras dengan pernyataan sejumlah pemimpin Israel di masa lalu seperti Ehud Olmert. Padahal, bukti genetik, sejarah peradaban Timur Tengah, hingga rekomendasi berbagai studi strategis mendukung gagasan bahwa koeksistensi adalah satu-satunya jalan. Perdamaian tidak mungkin lahir dari status quo blokade dan pendudukan.
Lebih jauh, langkah Prabowo dapat dibaca sebagai bagian dari strategi geopolitik Indonesia yang lebih luas. Dalam peta dunia multipolar, Indonesia ingin menunjukkan diri sebagai “middle power” yang mampu memainkan peran penyeimbang. Tidak hanya di Indo-Pasifik, tetapi juga di Timur Tengah yang selama puluhan tahun menjadi episentrum konflik global. Dengan mengusung solusi dua negara, Indonesia tidak sekadar berdiri di belakang Palestina, melainkan mengambil peran aktif mendorong konsensus internasional.
Di sini pula relevansi sejarah panjang diplomasi Indonesia terlihat. Dari Bandung 1955, GNB, hingga keterlibatan aktif di misi perdamaian PBB, Indonesia selalu berusaha mengedepankan prinsip keadilan. Prabowo melanjutkan tradisi itu, tetapi dengan gaya baru yang lebih tegas dan realistis. Ia tahu, dunia yang kini diguncang perubahan iklim, krisis energi, dan kompetisi geopolitik, membutuhkan pendekatan win-win yang konkret.
Akhirnya, gagasan “Two-State Solution Prabowo” bukan hanya refleksi politik luar negeri, tetapi juga pesan moral. Ia mengingatkan bahwa di balik statistik korban, ada wajah-wajah anak yang harusnya bersekolah, bukan bersembunyi di puing. Ada ibu-ibu yang seharusnya menyiapkan makan malam, bukan berduka di rumah sakit darurat. Perdamaian adalah hak dasar setiap manusia, dan politik hanya alat untuk mencapainya.
Bila Israel dan Palestina sama-sama keturunan Kanaan, maka mereka adalah saudara yang bertengkar terlalu lama. Indonesia lewat Prabowo mencoba menjadi penengah yang berkata: sudah cukup. Saatnya duduk bersama, berbagi tanah, berbagi udara, dan berbagi masa depan.
Baca juga: Biochar untuk Menaklukkan Padang Lumpur Sidoarjo
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)