Oleh: Satriwan Salim, S.Pd, M.Si
Channel9.id – Jakarta. Sebaiknya pemerintah pusat dalam hal ini BKN, Kemenpan RB, Kemendikbud, Kemenag, termasuk Kemenkeu mempertimbangkan beberapa hal di bawah ini, sebagai langkah strategis yang sekiranya tidak melukai para guru.
Sembilan Pertimbangan dan Solusi
Pertama, rekrutmen satu juta Guru PPPK pada 2021 untuk memenuhi kebutuhan 1,3 juta guru sepertinya mengalami kegagalan. Sementara itu sampai Maret 2021, baru 523.120 formasi guru P3K yang diusulkan daerah (Kemendikbud, 2021), yang sebelumnya 513.393 formasi. Tentu jauh dari kata maksimal. Terbaru data Kemenpan RB (per 8 Juni 2021) yang disampaikan dalam paparan resmi dalam Raker dengan Komisi II DPR RI, jumlah formasi yang ditetapkan pusat sebanyak 532.547 orang calon guru PPPK.
Tampaknya yang membuat pemda juga tidak maksimal mengajukan formasi ke pusat adalah faktor anggaran gaji dan tunjangan Guru P3K tersebut. Untuk 2021 ditanggung pusat, bagaimana dengan tahun berikutnya, bisa saja ditanggung daerah, jadi wajar saja pemda khawatir dan ragu. Akibatnya lagi-lagi yang jadi korban adalah guru honorer.
Fakta menyedihkan yang mesti digarisbawahi adalah pemerintah pusat dan daerah gagal dalam menunaikan janjinya akan merekrut 1 juta guru PPPK pada 2021. Kenyataannya, hanya mampu menetapkan formasi usulan daerah sebanyak 532.547 formasi. Padahal Indonesia sedang mengalami darurat kekurangan guru ASN di sekolah negeri sampai 1,3 juta guru (Kemendikbud, 2020).
Dampak yang paling terasa adalah, makin kecilnya bahkan tidak adanya kesempatan para guru honorer (apalagi Guru Honorer K-2) mengikuti seleksi PPPK, sebab daerahnya mengajukan formasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Lebih parah lagi, formasi yang disetujui pusat juga tidak sesuai dengan yang diajukan daerah. Akibatnya makin sedikit kesempatan honorer ikut seleksi PPPK.
Contoh di beberapa daerah, seperti Kab. Karawang, mengusulkan formasi sebanyak 1.080 Guru P3K, sedangkan yang disetujui Kemenpan RB hanya 660 orang Guru P3K. Berikutnya adalah Kab. Serang, formasi yang sudah disetujui Kemenpan RB adalah sebanyak 2.087 Guru P3K. Namun yang sangat-sangat disayangkan adalah, formasi Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang disetujui pusat hanya 1 orang saja, padahal jumlah guru honorer PAI di Kab. Serang sebanyak 430 orang. Fakta ini sungguh menyakitkan bagi guru honorer PAI.
Baca juga: Dari Guru Honorer Menjadi PPPK dan PNS (1)
Selanjutnya, di Kab. Cianjur awalnya usulan 9.200 dari Pemkab Cianjur, setelah ditetapkan oleh Kemenpan RB ternyata formasi yang disetujui hanya 246 guru P3K. Lalu di Kab. Subang, penetapan formasi untuk Guru P3K sebanyak 3086 orang yang telah disetujui Kemenpan RB. Namun yang sangat disayangkan, hanya 13 orang formasi guru PAI yang disetujui. Padahal total guru honorer PAI yang ada sekitar 600 orang di Kab. Subang.
Lalu sebanyak 8.801 usulan kuota Guru P3K dari Pemkab Garut. Diusulkan begitu, karena kendalanya menurut Pemkab adalah anggaran daerah yang tidak mampu meng-cover gaji dan tunjangan Guru P3K. Namun, ternyata yang disetujui oleh Kemenpan RB hanya 196 Guru P3K. Angka tersebut jauh dari kebutuhan atas kekurangan guru ASN di Kab. Garut. Jumlah yang disetujui pusat ternyata jauh dari yang diusulkan atau yang dibutuhkan pemda. Potret serupa terjadi hampir di seluruh daerah yang mengajukan formasi Guru P3K.
Faktor yang paling dominan adalah lemahnya koordinasi antara Pemda dengan pemerintah pusat, dan internal pemerintah pusat sendiri, perihal sumber anggaran gaji dan tunjangan guru P3K, apakah bersumber dari APBD atau APBN dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU).
Jika merujuk Pasal 5 Perpres No. 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK. Pasal 5 (1) Gaji dan tunjangan bagi PPPK yang bekerja di Instansi Pusat dibebankan pada Anggaran pendapatan dan Belanja Negara. (2) Gaji dan Tunjangan bagi PPPK yang bekerja di Instansi Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tidak ada penafsiran lain dalam hal ini.
Namun di beberapa kesempatan justru Mendikbud menyampaikan jika gaji dan tunjangan guru P3K dijamin oleh pemerintah pusat atau APBN (https://republika.co.id/berita/qjvwwj428/nadiem-gaji-pppk-dijamin-pemerintah-pusat, Republika 16 Nov 2020). Tentu pernyataan ini membingungkan Pemda dan publik umumnya, termasuk para guru honorer yang makin ragu untuk mengikuti seleksi P3K.
Info terakhir lebih jelas, pemerintah pusat melalui Surat Edaran Menkeu, berkomitmen gaji dan tunjangan guru P3K berasal dari pusat (APBN). Tertuang melalui Surat Kemenkeu No. S-46/PK/2021 bertanggal 31 Maret 2021 perihal “Perhitungan Anggaran Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dalam DAU TA 2021” yang ditujukan untuk Gubernur/Bupati/Walikota, pada angka 1-4 jelas termaktub, bahwa: “Jumlah formasi PPPK Guru dalam Alokasi Dasar DAU sebanyak 1.002.616 formasi dengan total kebutuhan anggaran sebesar 19,40 Triliyun” (Angka 3).
Kemudian, “Berdasarkan Penjelasan Pasal 11 (ayat 21) UU No. 9 Tahun 2020, pembayaran Gaji PPPK Guru tahun 2021 sebesar 19,40 Triliyun dimaksud menjadi bagian dari pemenuhan belanja wajib paling sedikit sebesar 25% dari alokasi Dana Transfer Umum (DTU)…” (angka 4). P2G memaknai esensi utama Surat Kemenkeu ini adalah meyakinkan para Kepala Daerah, agar jangan khawatir, bahwa Guru P3K sudah dianggarkan oleh pusat, walaupun hanya tahun 2021 saja. Poin berikutnya, pemerintah pusat membuka kuota 1 juta lebih Guru P3K untuk tahun 2021.
Memang dirasa angka satu juta terkesan ambisius, semoga saja APBN atau APBD juga mampu menutupinya. Mengingat sekarang masih pandemi, tentu Kemenkeu dan Pemda yang dapat mengukur postur keuangan negara.
Apalagi preseden seleksi guru P3K yang masih menyisakan masalah sejak 2019. Kendala secara administratif tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali, terlebih dengan angka yang sangat fantastis satu juta. Jadi hendaknya jangan tergesa-gesa dalam bertindak.
Oleh karena itu P2G sangat berharap pemerintah pusat dan Pemda mesti sudah duduk bersama, satu persepsi mengenai sumber gaji dan tunjangan guru P3K, termasuk mengantisipasi potensi persoalan lainnya yang akan muncul ke depan. Jangan sampai karena lemahnya koordinasi pemerintah, guru honorer yang dirugikan.
Kedua, reformulasi persentase rekrutmen guru PNS dan P3K secara nasional perlu dilakukan. Merekrut 70 persen guru P3K dan 30 persen guru PNS, dirasa cukup berkeadilan, dimulai dari formasi 2021. Pentingnya keberadaan guru PNS di sekolah negeri tak bisa dipungkiri, berdampak psikologis sekaligus sosial khususnya terhadap siswa dan orang tua serta keberlangsungan manajemen sekolah.
Kemudian bagi P2G seleksi guru P3K bukan menjadi solusi jangka panjang atas kekurangan 1,3 juta guru ASN di sekolah negeri sampai 2024 nanti. Rekrutmen guru P3K hanya menjadi solusi jangka pendek, mengingat terbatasnya durasi perjanjian kerja (kontrak) guru P3K dengan Pemda (PPK), minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun. Maka tentu rekrutmen guru PNS tetap dibutuhkan sampai kapanpun, sebab lama kerja PNS lebih jelas dan konstan sampai usia pensiun 60 tahun, kontras dengan P3K.
Ketiga, untuk masa perjanjian kerja, dibutuhkan segera revisi PP No. 49 Tahun 2018. Sebaiknya seorang guru P3K dengan perjanjian kerja minimal lima tahun. Sebab lima tahun adalah waktu yang tepat untuk dapat menilai, mengevaluasi, dan membandingkan performa kerja guru secara utuh dan berkelanjutan. Apa yang bisa diharapkan dari guru yang mengajar baru satu tahun, apalagi di tengah pandemi?
Jika hanya setahun lalu diputus, ditambah asesmen yang dilakukan kepala daerah lebih bermotif politik, tentu berkibat buruk terhadap masa depan karir guru bersangkutan. Bisa saja guru diberhentikan karena pilihan politik dalam Pilkada, tapi secara administratif tertulis kinerjanya buruk, lantas direkam oleh sistem administratif daerah. Stigmatisasi demikian, menutup kesempatan guru tersebut ikut seleksi P3K kembali dan pastinya tertutup menjadi PNS di kemudian hari.
Keempat, seleksi guru P3K bagi guru honorer mestinya memprioritaskan keberadaan Guru Honorer Kategori 2 (K2). Guru Honorer K2 (GHK-2) merupakan “korban” kebijakan negara yang belum rampung. Mestinya pemerintah fokus terlebih dulu untuk menuntaskan utang moral dan sejarah terhadap GHK-2 yang diperkirakan jumlah total tersisa sekitar 180 ribu guru (silakan lebih lanjut rujuk Data Base BKN, 2012).
Dasar hukum honorer K2 dan GHK-2 ini jelas, yakni: PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS PP No. 43 Tahun 2007 (perubahan pertama PP 48/2005).PP No. 56 Tahun 2012 (perubahan kedua PP 48/2005) Surat Edaran Menpan RB No. 5 Tahun 2010
Salah satu bentuk affirmative action yang dapat diberikan bagi GHK-2 adalah skema memperhitungkan lama mengabdi dan kepemilikan sertifikat pendidik (Serdik). Harapannya, dua komponen tersebut dapat menjadi faktor penentu kelulusan menjadi P3K. Mengingat guru bersertifikat pendidik masuk kategori profesional, lagipula tak mudah mendapatkannya, melalui proses berliku.
Apresiasi P2G untuk Mendikbud Nadiem Makarim dan Dirjend GTK Iwan Syahril, sebab aspirasi kami terkait Serdik ini sudah diakomodir oleh Kemendikbud. Kepemilikan Serdik dinilai memenuhi skor 300 poin (poin tertinggi) untuk aspek Kompetensi Teknis dari total 500 poin. Walaupun guru honorer masih berjuang mencari nilai untuk aspek Kompetensi Manajerial, Kompetensi Sosiokultural, dan Wawancara.
Sedangkan afirmasi Mendikbud untuk lama mengajar minimal 3 tahun sebesar 75 poin, P2G menilai langkah ini tidak berkeadilan. Mengingat lama pengabdian guru honorer (apalagi K-2) sudah belasan tahun, bahkan ada yang 20 tahun lebih. Tentu skema afirmasi pukul rata tersebut dirasa tak berpihak. Sebab guru yang baru mengabdi 3 tahun dengan yang di atas 10 tahun, apalagi 20 tahun, dianggap sama poinnya. PNS saja jika sudah mengabdi 10 tahun atau 20 tahun, mendapatkan perghargaan Satyalencana dari negara. Masa guru honorer yang mengabdi belasan tahun dan 20 tahun tidak?
Perihal afirmasi terhadap lama mengabdi, berikut proposal skema afirmasi versi P2G yang dirasa lebih objektif, yaitu:.Guru honorer masa pengabdian 3 tahun afirmasi 75 poin, dari total 500 poin.Guru honorer masa pengabdian 4-9 tahun afirmasi 100 poin, dari total 500 poin Guru honorer masa pengabdian 10-14 tahun afirmasi 150 poin, dari total 500 poin Guru honorer masa pengabdian 15-19 tahun afirmasi 200 poin, dari total 500 poin Guru honorer masa pengabdian 20 tahun ke atas afirmasi 250 poin, dari total 500 poin
Kelima, P2G juga berharap adanya afirmasi bagi GHK-2 yang tengah mengikuti PPG Dalam Jabatan, mengingat umumnya GHK-2 telah berusia di atas 40 tahun, bahkan tak sedikit di atas 50 tahun. Adanya “keringanan” dalam mengikuti PPG Dalam jabatan ini sangat diharapkan guru-guru “sepuh” ini. Termasuk perlu adanya perhatian khusus bagi GHK-2 yang mengajar di sekolah swasta (TK Swasta, Kasus Kab. Konawe), karena tergeser oleh PNS di sekolah negeri tempatnya semula bertugas.
Keenam, masalah berikutnya adalah persoalan guru honorer yang belum memiliki SK dari Kepala Daerah sehingga mereka terkendala untuk mengikuti program sertifikasi guru. Perlu diketahui faktanya, ada guru honorer memiliki Serdik yang sudah dapat TPG, sementara itu masih banyak guru honorer berserdik yang belum dapat TPG.
Mengingat perbedaan besaran gaji bagi guru honorer tiap daerah, maka P2G mendesak dibuatnya SKB 4 Menteri (Kemendikbud, Kemenag, Kemendagri, dan Kemenkeu) tentang Upah Layak Minimum berlaku nasional yang wajib dikeluarkan oleh Pemda, sehingga tidak ada lagi guru honorer bergaji di bawah UMP/UMR. Selain guru Honorer Daerah (diangkat Pemda, sumber upah dari APBD), nasib tragis lebih banyak dirasakan oleh Guru Honorer Murni/Honorer Sekolah (diangkat oleh Kepala Sekolah) yang upahnya bersumber dari Dana BOS. Besaran upah guru Honorer Murni bergantung kepada “kebijaksanaan” kepala sekolah. Karena mengikuti alur Dana BOS, otomatis cairnya upah mengikuti waktu cairnya Dana BOS, yakni triwulan sekali. Apakah skema pengupahan demikian dirasa manusiawi? Memanusiakan manusia? Memerdekakan manusia seperti ujar Ki Hajar Dewantara?
Ketujuh, P2G sangat mendorong agar Kemendikbud dan Kemenag bersama Pemda menambah rekrutmen guru Pendidikan Agama Islam, Kristen, Katolik, dst. Termasuk Guru Bahasa Daerah yang semula sempat luput dari seleksi P3K 2021. P2G mengapresiasi Kemenag yang telah mengusulkan 27.303 formasi P3K untuk guru agama di sekolah negeri. Formasi ini tersebar pada sekolah negeri yang ada di 393 Pemerintah Daerah. Jumlah ini terdiri atas 22.927 formasi guru agama Islam, 2.727 guru agama Kristen, 1.207 guru agama Katolik, 403 guru agama Hindu, dan 39 guru agama Budha (https://kemenag.go.id/berita/read/515646/seleksi-pppk-2021–kemenag–9-495-guru-madrasah–27-303-guru-agama-sekolah, Kemenag, 2021).
Lebih lanjut pendataan jumlah guru Pendidikan Agama yang honorer yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta dilakukan lebih intensif, agar tidak tercecer, termasuk koordinasi antara Kemendikbud dan Kemenag. Sebab Guru Pendidikan Agama ini punya 2 orang ayah sekaligus: Kemendikbud dan Kemenag.
Kedelepan, P2G mendapatkan laporan keluhan dari daerah-daerah, seperti Kab. Bima dan Kab. Konawe perihal informasi yang tidak sampai ke daerah terkait rekrutmen Guru Madrasah dalam seleksi P3K 2021. Ditambah belum adanya “Bimbingan Belajar” bagi guru Pendidikan Agama dan Madrasah untuk ikut P3K, seperti yang sedang diadakan Kemendikbud 2 bulan terakhir, bagi guru-guru sekolah calon P3K.
Termasuk keluhan dari Guru Bahasa Daerah yang formasi P3K-nya tidak dibuka linier, melainkan dimasukkan ke dalam Guru Seni Budaya. Padahal para guru Bahasa Daerah ini berlatar belakang Pendidikan Bahasa Daerah dan sudah mengajar sebagai guru honorer Pendidikan Bahasa Daerah di sekolah tersebut. Hendaknya pemerintah membuka formasi guru Pendidikan Bahasa Daerah agar linier dengan pelajaran yang diampu selama ini dan linier latar pendidikannya.
Kesembilan, meminta Kemendikbud agar segera membuka perekrutan guru PNS ikatan dinas berasrama melalui LPTK, sesuai perintah Pasal 22 dan 23 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Jika strategi ini dilakukan, calon guru PNS yang diterima negara benar-benar terseleksi dengan ketat sejak dari hulu. Panggilan jiwa (passion) sebagai guru sudah terdeteksi dan kinerja yang direkam dengan baik sedari awal oleh sistem.
Mengurusi profesi guru memang unik, dibutuhkan keluasan pandangan dan kebijaksanaan pemegang kebijakan. Ki Hajar Dewantara pernah berpesan: “Jangan setengah hati menjadi guru, karena anak didik kita telah membuka sepenuh hatinya.”
Begitu pula hendaknya bagi pemerintah, jangan setengah hati memuliakan martabat guru, karena mereka sudah sepenuh hati mengabdi dan mendidik bangsanya agar tetap bermartabat.
Penulis adalah Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)