Hot Topic

Ahli: Secara Norma Hukum Positif, Jaksa Tidak Bisa Ajukan PK

Channel9.id-Jakarta. Ada yang menarik dalam sidang Perkara Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Jaksa di Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi ahli Priyo Djatmiko, Ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Malang.

Ketika menyampaikan kesaksiannya, saksi ahli mengatakan secara normatif yuridis, Jaksa tidak bisa mengajukan PK dalam perkara putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Lantaran adanya putusan Mahkamah Konstitusi No 33/PUU-XIV/206 yang telah memberikan penafsiran konstitusional terhadap pasal 263 ayat (1) KUHAP.

“Dalam norma tersebut dikatakan yang berhak mengajukan PK adalah terpidana dan ahli warisnya,” jelasnya. Menurutnya jika melihat kepada normative yuridis maka perkara tersebut sudah selesai, karena sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Lantas bolehkah hakim menerima Peninjauan Kembali? Dijawab oleh ahli bahwa Pengadilan Negeri hanya melakukan pemeriksaan saja. “Nanti hasil pemeriksaanya diserahkan kepada Mahkamah Agung, terserah nanti MA memutuskan seperti apa,” jelasnya.

Namun ahli dari Universitas Brawijaya ini juga, menyampaikan dari segi legisme postivisme, memang jaksa tidak bisa mengajukan PK. KUHAP pasal 263 ayat 1, diperkuat oleh putusan MK dan surat edaran No 4 tahun 2014. Kemudian ada juga surat Ketua MA yang terbaru, yakni Surat Keputusan Ketua MA No 268/KMA/2019 yang semakin memperkuat pendekatan normatif yuridis dalam proses pengajuan PK.

Hal senada disampaikan oleh Hamdan Zoelva, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dihadirkan dalam sidang tersebut,menurutnya Pasal 263 ayat I KUHAP s secara ekplisit, tegas sekali bahwa yang boleh mengajukan PK adalah terpidana ahli warisnya.

“MK melakukan pengujian terhadap Pasal 263 ayat 1 karena ada permohonan dari warga negara. Di lapangan dia menghadapi persoalan , ketika subyek yang mengajukan PK adalah jaksa,” jelasnya.

Karena itu menurut Hamdan Zoelva, untuk mengakhiri polemik tersebut dan jangan sampai menjadi polemik terus menerus, mahkamah konstitusi menegaskan bahwa pasal itu sendiri konstitusional.

“Jika pasal tersebut dimaknai lain, selain makna yang secara ekplisit tercantum dalam Pasal 263 ayat (1) maka bertentangan dengan Undang-Undang atau Inkonstitusional,” tegasnya.

Dalam pertimbangannya, Putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa PK didasari oleh filosofi pengembalian hak seseorang yang mungkin dirinya mendapat perlakuan tidak berkeadilan yang dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim.

“Karena itu hukum positif di Indonesia memberikan hak kepada terpidana dan ahli warisnya untuk mendapat upaya hukum yang luar biasa yang dinamakan peninjauan kembali. Atau dengan kata lain peninjauan kembali ditujukan bagi kepentingan terpidana,” tambah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.

Negara melalui aparaturnya dipandang sudah diberikan kesempatan dan kewenangan yang cukup melalui proses Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Kasasi.

Menurut Hamzan Zoelva, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, sudah tidak ada upaya hukum lain lagi dan berlaku seketika. “Karena itu putusan MK sejak awal didesain langsung dimuat dalam berita negara sebagai bentuk pengumuman bahwa semua lembaga negara dan warga negara dianggap mengetahui ketika dimuat dalam berita negara,” tuturnya.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Hamdan, siapapun penyelenggara negara harus taat pada putusan Mahkamah konstitusi, penghormatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi termasuk bagian yang tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap konstitusi itu sendiri.

“Karena mahkamah konstitusi diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk memberikan putusan terhadap suatu norma undang-undang konstitusional atau tidak konstitusional,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

37  +    =  42