Channel9.id-Jakarta. Sejak era reformasi di akhir 1990-an, tantangan ekonomi Indonesia sudah berat. Di masa ini komoditas pangan impor lebih murah daripada yang ada di dalam negeri. Demikian jelas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo dalam pidatonya, di acara Seminar dan Peluncuran Buku “Ekonomi Pancasila dalam Pusaran Globalisasi”, Sabtu (20/6).
“Sehingga muncul kekhawatiran ketergantungan masyarakat terhadap bahan pangan impor semakin besar,” lanjut pria yang kerap disapa Bamsoet ini.
Bamsoet melanjutkan, ketergantungan Indonesia terhadap produk impor kian memprihatinkan pada 2010 hingga 2013. Indonesia setiap tahunnya mengimpor sebagian kebutuhan garam nasional yakni sekitar 1,5 juta ton, meski laut merupakan teritorial terluas negara. Impor komoditas pangan pun meluas, termasuk sayur, buah, kedelai, kacang tanah, bawang, daging, dan susu.
“Kondisi ini terus memburuk. Sehingga, di 2017-2018 misalnya, Indonesia menjadi importir gula terbesar dunia, dengan impor 4,45 juta ton, angka ini menggeser Cina yang impor 4,2 juta ton. Kondisi impor pangan yang lain juga tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti,” kata Bamsoet.
Kemudian di situasi pandemi Covid-19 ini, kondisi ekonomi Indonesia bertambah buruk lagi. Sudah lebih dari tiga bulan, sejak ditemukannya kasus pertama di akhir Februari, Indonesia hingga kini masih sibuk mengatasi pandemi dan dampaknya bagi banyak sektor kehidupan.
“Pada periode Maret sampai bulan Juni 2020 menjadi fase terberat perekonomian Indonesia,” kata Bamsoet. International Moneter Fund (IMF), lanjutnya, bahkan meramalkan dunia sedang menuju kebangkrutan massal, yang kemudian membuat sistem ekonomi dunia terkoreksi karena adanya pandemi Covid-19.
Menimbang situasi seperti itu, Bamsoet menuturkan bahwa sistem ekonomi Pancasila bisa menjadi harapan untuk mengatasi masalah tersebut. “Bila globalisasi runtuh, maka ekonomi lokal otomatis ambil haluan. Berbicara ekonomi lokal tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi Pancasila,” lanjutnya.
Namun, ia mengaku ragu soal itu. Pasalnya, selama sistem tersebut diterapkan, kesenjangan ekonomi di Indonesia masih tinggi. Misalnya, kesenjangan dalam penguasaan tanah, yang sangat timpang.
Dengan adanya kesenjangan itu, ia menilai, prinsip idiil Pancasila belum mewujud dalam kehidupan sehari-hari, khususnya para pejabat nya. Implementasi kebijakan pembangunan ekonomi sering kali tidak konsisten dengan rancangan.
“Para pejabat baik di tingkat pusat maupun daerah lebih condong berpihak pada para pengusaha besar dengan berbagai motivasi jangka pendek untuk kepentingan personal atau kelompok. Sehingga kelompok ekonomi bawah maupun kecil yang seharusnya menjadi prioritas justru tertinggal sama sekali di belakang,” tandas Bamsoet.
“Tantangan terbesar Ekonomi Pancasila semata bukan hanya pada globalisasi, melainkan pada mental dan kualitas pejabatnya. Sebagus apapun konsep tatanan perekonomian tak akan membuahkan hasil maksimal jika dijalankan oleh para pejabat yang tak memiliki semangat nasionalisme dan berjiwa Pancasila,” lanjutnya.
(LH)