Opini

Bandar Pariaman dalam Siklus Ekonomi Ibnu Khaldun

Oleh: Indra J Piliang*

Channel9.id-Jakarta. Pasar Rakyat Kota Pariaman diresmikan Guru Besar Ekonomi Syariah dan sekaligus Wakil Presiden Kyai Haji Ma’ruf Amin hari Selasa, 6 April 2021. Ground breaking pembangunan pasar dilakukan tanggal 14 Desember 2019 oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. PT Wijaya Karya menggunakan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebanyak Rp 100 Milyar. Usia pasar sebelum rubuh sudah seratus tahun.

Tanpa pasar, Pariaman bagaikan kota mati. Lenggang lenggok kesenian tradisional tak bisa berkembang. Dendang Pariaman tadanga langang / Batabuik makonyo rami…(Pariaman terdengar lengang, bertabut makanya ramai) seolah terus terngingang. Hanya tabut yang menjadi tonggak utama dalam mengundang pengunjung. Sebagai agenda wisata tahunan, setiap tanggal 10 Muharram, perayaan tabut menjadi daya tarik utama. Setelah itu, Pariaman kembali sepi.

Padahal, dendang itu bukan bait yang selesai. Masih terdapat lanjutan lain, seperti Di kampuang tadanga sanang / Di rantau marasai badan  (di kampuang terdengar senang, di rantau merana badan). Dalam sejumlah krisis ekonomi, termasuk ketika Pasar Tanah Abang terbakar, keadaan itu terasa. Ekonomi Kota Pariaman turut mengalami lesu darah. Jumlah kiriman uang dari perantau kepada keluarga di ranah berkurang drastis.  Raihan Parasamya Purna Karya Nugraha sebanyak dua kali dalam masa Orde Baru, tidak terlepas dari kiriman uang dari rantau yang mengisi lumbung-lumbung pitih nagari. Presiden Soeharto sendiri yang kerap menjadi ‘juru bicara’ kegiatan yang sempat dikenal sebagai Gerakan Seribu Minang itu.

Tabut adalah peristiwa peringatan kematian Hussein bin Ali bin Abi Thalib di Padang Karbala. Pasukan Sepoy, yakni tentara infanteri Inggris beragama Islam asal India, membawa tradisi itu ke Sumatera. Tabut bukan saja dilakukan di Pariaman, tetapi juga Bengkulu, Tapak Tuan, dan sejumlah area lain di sepanjang garis pantai barat Sumatera. Keberadaan Inggris di Bengkulu selama 140 tahun, bersamaan dengan penguasaan Inggris di India dan Malaya, telah mengakrabkan penerimaan masyarakat muslim Melayu atas tradisi yang berkembang di India, Pakistan, Afghanistan, hingga Iran itu.

Tabut sama sekali tak berkembang di area yang mendapat perlindungan militer dari Turki Utsmani, seperti Aceh, Gowa, hingga Buton. Geger Sepehi, berupa penyerbuan Keraton Ngayogyakarta pada 19-20  Juni 1812 oleh tentara Inggris yang sebagian terdiri atas serdadu Sepoy, telah mengawali pendudukan tanah Jawa oleh Sir Stamford Raffles. Nama Sepehi (Sepoy) langsung menghunjam jantung pertahanan rakyat Jawa. Inggris tidak lama di Jawa, yakni hanya sampai 1825 lewat Traktat London, ketika Perang Paderi masih berlangsung di Sumatera (Barat, Utara, dan Riau sekarang).

Jejak Tabut tidak tercatat dalam ‘Suma Oriental’ Tome Pires yang menginjakkan kaki di Pariaman pada 1513, dua tahun setelah Malaka jatuh ke tangan pelaut Portugis. Zaman Pertengahan yang berlangsung sejak abad ke 5 berakhir para 1500. Para petualang di lautan membuka zaman baru. Mereka berasal dari negara-negara Eropa yang memiliki jalur ke arah samudera dan memiliki  galangan kapal. Spanyol, Inggris, Portugis, Belanda, termasuk Italia dan Perancis, berburu rempah-rempah dari dunia timur. Bendera-bendera kerajaan didirikan di tanah-tanah suku aborigin di empat benua lain, yakni Asia, Afrika, Australia, dan Amerika.

Satu abad sebelum Zaman Pertengahan berakhir, seorang pemikir brilian bernama Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332-1406) asal Tunisia melahirkan sejumlah karya original. Karir Ibnu Khaldun sangat beragam, namun berada dalam bingkai yang serupa, cendekiawan. Diplomat, hakim, sejarawan, sosiolog, politisi, sekaligus seorang ekonom handal. Namun, pemikiran Ibnu Khaldun baru mencapai Eropa setelah diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Perancis oleh Silvestre de Sacy tahun 1806.

Sumbangan pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun sebagaimana diungkap Abdul S Soofi (History of Political Economy, Juni 1995), baru diperkenalkan setelah Perang Dunia Kedua oleh Nashat (1945), Issawi (1950), Spengler (1964), Boulakia (1971), Essid (1987), dan Kuran (1987). Kebanyakan ulasan tertuju kepada buku paling tebal di dunia, Mukkadimah. Tetapi masih berupa kulit luar. Biografi Ibnu Khaldun beredar terbatas. Ibnu Khaldun belum diulas tajam oleh kalangan pemikir ekonomi Indonesia. Dua sosok ekonom penting, Mohammad Hatta dan Soemitro Djojohadikusumo tak berbicara tentang Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun terlambat hadir di Indonesia yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Di Eropa, pengaruh pemikiran Khaldun kian kuat. Pisau analisis dari segala sisi digunakan, termasuk dari kalangan ilmuwan kontemporer dalam setiap masa. Bukan saja Khaldun, tetapi ilmuwan lain seperti Mohammed Arkoun.

Tentu pertanyaan terpenting yang perlu dijawab, apakah teori atau analisis yang diberikan Khaldun di bidang ekonomi bisa digunakan sebagai meta teori atas Kota Pariaman, sebagai satu kota syahbandar terpenting di pantai barat Sumatera sejak berabad lampau? Khaldun mengungkap apa yang disebut sebagai makro ekonomi, atau lebih tepat lagi geoekonomi, dalam melihat kemakmuran suatu negara atau kawasan.  Sudut pemahaman atas kemajuan negara-negara kepulauan diberbandingkan dengan negara-negara jazirah. Tetapi, semakin ditelusuri, Ibnu Khaldun malahan berkontribusi besar terhadap mikro ekonomi.

Dari sini, salah satu yang patut ditelusuri dengan cermat adalah siklus empat puluh tahunan dalam pembangunan ekonomi. Ibnu Khaldun memberikan sejumlah parameter, indikator, hingga fakta historis atas siklus yang bisa membuat suatu negara bisa jatuh, bangkit, hingga maju. Ali Murtopo menggunakan akselerasi pembangunan lima tahun dalam jangka waktu 25 tahun, dalam model pembangunan ekonomi Orde Baru. Sekalipun tidak ada lagi garis-garis besar haluan negara, penggunaan model siklus empat puluh tahun yang dijadikan sebagai independen variabel dalam pendekatan ekonomi Ibnu Khaldun sungguh bisa disusun di tingkat lokal. Kota Pariaman setelah pembangunan Pasar Rakyat, berikut infrastruktur ekonomi lain yang berada di darat, pantai, hingga pulau dan laut, sudah bisa menjadi area imajinasi, narasi, pun juga implementasi dari variabel-variabel mikro ekonomi yang bisa disusun bersama.

Dan, karena penyusunan itu bukan pekerjaan satu orang saja, tentu sudah tepat saya berhenti pada titik ini. Silakan pihak lain menyambut, atau membuang, atau sama sekali tak membaca apa yang coba saya kaitkan. Sudah saatnya masa lalu dilihat lebih teknis, detil dan jernih, ketimbang area pewarisan ideologi yang tak jelas, seperti dendam kesumat antar klan. Bisakah Kota Pariaman lebih berkembang dan sejahtera, dalam empat puluh tahun ke depan? Wallahu ‘alam.

*Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1  +  5  =