Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Posisi cadangan devisa US$144,78 miliar pada akhir Agustus 2021 dikabarkan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Mengalami kenaikan cukup dramatis hanya dalam waktu satu bulan. Bertambah US$7,44 miliar, dari posisi akhir Juli 2021 yang hanya US$137,34 miliar.
Klaim terbesar memang tidak salah, namun bukan sesuatu yang istimewa. Posisi cadangan devisa bersifat, akumulasi. Hampir tiap tahun, selalu ada rekor yang terbesar. Sebagai contoh pada akhir April 2021 (US$138,80 miliar) juga rekor atas waktu sebelumnya. Begitu pula dengan akhir Februari 2021 (US$138,79 miliar).
Hal yang luar biasa adalah tambahan dramatis dalam waktu satu bulan. Namun, Bank Indonesia (BI) menjelaskan diperolehnya alokasi Special Drawing Rights (SDR) dari International Monetary Fund (IMF) senilai US$6,33 miliar. Kenaikan karena faktor “organis” hanya sebesar US$1,11 miliar, atau bersifat wajar.
Secara umum, menilai peningkatan cadangan devisa sebagai kinerja ekonomi butuh penelisikan beberapa aspek. Diantaranya tentang bentuk atau komponen apa yang bertambah, serta faktor apa yang menyebabkannya. Baru kemudian dapat dinilai apakah merupakan indikasi perbaikan sektor eksternal perekonomian Indonesia.
Sebelumnya, perlu diketahui definisi cadangan devisa sebagaimana dinyatakan oleh Bank Indonesia (BI) dalam berbagai dokumennya. Cadangan devisa merupakan aset eksternal yang dapat langsung tersedia bagi dan berada di bawah kontrol otoritas moneter untuk membiayai ketidakseimbangan pembayaran, mengatur secara tidak langsung besaran ketidakseimbangan tersebut melalui intervensi untuk mempengaruhi nilai tukar, dan/atau tujuan lainnya.
Dikatakan lebih lanjut, aset eksternal yang dapat dikategorikan sebagai cadangan devisa harus memenuhi kriteria: (1) likuid, (2) dalam denominasi mata uang asing utama, (3) di bawah kontrol otoritas moneter, dan (4) dapat dengan segera digunakan untuk penyelesaian transaksi internasional.
BI secara umum merujuk pada dua panduan dari International Monetary Fund (IMF). Yaitu: Balance of Payments and International Investment Position Manual edisi ke-6 (BPM6), serta International Reserves and Foreign Currency Liquidity (IRFCL) Guidelines for a Data Template.
BI mengumumkan posisi cadangan devisa tiap akhir bulan. Disampaikan pula rincian bentuk atau komponennya. Posisi akhir Agustus 2021 terdiri dari: Emas Moneter (US$4.585 juta), Special Drawing Rights (US$7.924 juta), Reserve Position in the Fund (US$1.128 juta), Uang Kertas Asing dan Simpanan (US$11.740 juta), Surat Berharga (US$118.728 juta), dan. Tagihan Lainnya (US$680 juta).
Posisi cadangan devisa pada prinsipnya dapat berubah karena dua faktor. Faktor transaksi ekonomi internasional yang tercatat dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dan faktor nontransaksi.
NPI (Indonesia’s Balance of Payments) mencatat transaksi internasional antara Indonesia dengan pihak asing. Kondisi NPI Indonesia pada tiap tahun memang lebih sering mengalami surplus, yang menyebabkan posisi cadangan devisa cenderung bertambah. Selama 40 tahun, dari 1981 sampai dengan tahun, NPI mengalami surplus sebanyak 27 kali dan defisit sebanyak 13 kali.
Pada umumnya, nilai surplus tercatat cukup besar. Sempat mencapai US$30,34 miliar pada 2010. Sedangkan defisitnya cenderung tidak terlampau besar. Defisit yang cukup lebar dialami pada 1998 sebesar US$8,14 miliar. Defisit cukup lebar setelahnya dialami pada 2013 (US$7,33 miliar) dan 2018 (US$7,13 miliar).
NPI tersebut terdiri dari tiga neraca. Dua diantaranya merupakan paling utama dan bernilai besar, yaitu: Transaksi Berjalan (Current Account) dan Transaksi Finansial (Financial Account).
Transaksi Berjalan mencatat seluruh ekspor dan impor berbagai barang dan jasa. Cakupan jasa di sini sangat luas, termasuk imbal jasa atas penggunaan faktor tenaga kerja dan modal finansial, serta remitansi tenaga kerja. Sedangkan Transaksi Finansial mencatat utang-piutang dan investasi, seperti: investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya.
Transaksi Berjalan selama periode 1981-1997 selalu mengalami defisit. Dari 1998 sampai dengan 2011 selalu mengalami surplus. Dari 2012 hingga 2020, Transaksi Berjalan selalu mengalami defisit. Defisit sangat lebar dialami pada 2013 (US$29,11 miliar), 2018 (US$30,63 miliar) dan 2019 (30,29 miliar).
Pada tahun 2020, ketika terjadi pandemi covid-19, defisit justeru turun signifikan menjadi sebesar US$4,45 miliar. Namun, penurunan defisit ini sulit disebut sebagai petanda perbaikan yang bersifat fundamental. Hal itu lebih disebabkan keuntungan Indonesia dari kondisi menurunnya aktivitas perdagangan dan transaksi internasional, serta kenaikan harga komoditas. Ditambah dengan nilai impor yang turun karena melemahnya aktivitas produksi dalam negeri.
Bagaimanapun, ketahanan eksternal yang kuat harus ditunjukkan oleh kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Dengan demikian, tambahan cadangan devisa lebih bersumber dari kesinambungan produksi barang dan jasa, yang mengindikasikan kuatnya fundamental perekonomian.
Tambahan devisa selama 9 tahun terakhir terutama disebabkan oleh transaksi finansial. Indonesia memperoleh banyak arus masuk dari investasi dan utang luar negeri. Bukan sesuatu yang otomatis buruk atau cukup wajar jika hanya terjadi selama beberapa tahun atau pada tahun tertentu.
Namun karena telah berlangsung sembilan tahun berturut-turut, maka perlu dikaji lebih cermat beberapa aspek dan kondisinya. Fenomena tersebut menimbulkan beban kewajiban yang makin besar di masa mendatang.Termasuk balas jasa atasnya, seperti keuntungan dan bunga utang.
Apalagi jika devisa hasil utang dan investasi yang masuk tidak berhasil mendorong peningkatan produksi barang dan jasa yang juga mampu menghasilkan devisa. Manfaatnya memang masih ada dalam hal mendorong produksi bagi keperluan dalam negeri, serta menjadi sumber pembiayaan pemerintah dan korporasi. Namun telah meningkatkan risiko ketahanan eksternal.
Alokasi Special Drawing Rights (SDR) dari IMF yang langsung menambah posisi cadangan devisa Indonesia pada bulan Agustus perlu diketahui beberapa karakteriknya.
SDR pertama kali dibuat oleh IMF pada tahun 1969 untuk melengkapi cadangan resmi negara-negara anggotanya. Saat ini, nilai SDR didasarkan pada sekeranjang lima mata uang. Yaitu: dolar AS, euro, renminbi Tiongkok, yen Jepang, dan pound sterling Inggris. Kurs SDR juga berfluktuasi tiap hari, namun rekatif cukup stabil selama bertahun-tahun.
Meski diperlakukan seperti mata uang, IMF mengatakan SDR sebenarnya bukan mata uang dalam arti umum seperti pada negara. SDR adalah klaim potensial atas mata uang anggota IMF yang dapat digunakan secara bebas atau menyediakan likuiditas bagi suatu negara.
Hingga saat ini, total SDR 660,7 miliar (kini setara dengan sekitar US$943 miliar) telah dialokasikan. Termasuk alokasi terbesar yang pernah diberikan IMF sepanjang sejarah, yaitu sekitar SDR456 miliar pada Agustus 2021. Alokasi terbaru ini dikatakan untuk mengatasi kebutuhan global jangka panjang akan cadangan devisa, dan membantu negara-negara mengatasi dampak pandemi covid-19.
Sesuai quota, Indonesia memperoleh SDR4,46 miliar (setara US$6,33 miliar). Sebagai perbandingan, yang diterima oleh negara berquota besar: Amerika Serikat (SDR79,55 miliar), Jepang (SDR29,54 miliar), China (SDR29,22 miliar), dan Inggeris (SDR19,32 miliar).
Baca juga: Catatan Arah Kebijakan Belanja RAPBN 2022
Sementara itu, alokasi bagi beberapa negara tetangga: Malaysia (DSR3,48 miliar), Thailand (SDR3,08 miliat), dan Philippina (SDR1,96 miliar). Negara-negara berpendapatan rendah memperoleh alokasi yang relatif sedikit, misalnya: Somalia (SDR156,6 juta), Guinea-Bissau (SDR27.2 juta), dan Burkina Faso (SDR115.4 juta).
SDR yang diterima negara anggota dalam skema alokasi umum memang dicatat sebagai cadangan devisa negara bersangkutan. Dan tidak diperlakukan sebagai utang oleh IMF. Berbeda dengan skema pinjaman kepada IMF dalam kondisi tertentu, seperti yang saat krisis pernah dilakukan Indonesia.
Secara teknis, SDR tidak dipergunakan langsung dalam transaksi. SDR yang dimiliki oleh suatu negara harus ditukar dahulu dengan negara lain sesama anggota IMF untuk memperoleh mata uang yang bisa dipakai untuk membayar impor atau kewajiban lainnya. Meski bebas, sepanjang negara-negara yang terlibat bersedia, secara administrasi IMF mencatat transaksi tersebut dengan mengetahui pula beberapa informasi terkait.
IMF mencatat perubahan kepemilikan suatu negara atas quota SDR. Baik dalam hal bertambah atau berkurang. Selisih posisinya dikenakan perolehan bunga atau beban bunga. Meski tingkat bunga SDR memang relatif kecil, namun tetap berfluktuasi.
Bisa dikatakan, SDR tidak akan dipakai secara sembarangan oleh suatu negara. Pemakaian SDR akan mengindikasikan negara tersebut mengalami kesulitan likuiditas internasionalnya. Bentuk cadangan devisa lainnya dapat dikatakan tidak mencukupi kebutuhan.
Sebagai penutup, penulis menilai kondisi eksternal perekonomian Indonesia saat ini tidak lah buruk. Bahkan sedikit membaik dibanding sebelum pandemi. Namun, belum bisa dinilai kondisi ketahanan eksternal Indonesia terbilang kuat.
Besarnya posisi cadangan devisa terkini hanya satu indikator. Indikator eksternal lainnya yang lebih fundamental belum mendukung kesimpulan tersebut. Diantaranya adalah: transaksi berjalan yang masih defisit, struktur ekspor yang belum kuat, posisi utang luar negeri yang masih besar dibanding cadangan devisa, beban pembayaran utang luar negeri yang lebih besar dari banyak negara, dan lain sebagainya.
*Ekonom