Hot Topic

Chairul Huda : Mekanisme PK Dalam KUHAP diatur Untuk Terpidana dan Ahli Warisnya

Channel9.id – Jakarta. Ahli hukum pidana  Dr. Chairul Huda, SH, MH  yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang  Perkara  Peninjauan Kembali  ( PK)  yang diajukan oleh KPK terhadap  Syafruddin A. Temenggung menyampaikan,  “Lembaga PK sebenarnya diadakan untuk mengkoreksi kekeliruan negara melalui aparaturnya yang telah menjatuhkan hukuman berkekuatan hukum tetap, namun karena adanya keadaan baru yang jika diketahui sejak awal putusan menjadi lain, maksudnya putusan bisa berisi pembebasan,lepas ataupun pemidanaan yang lebih ringan,” jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan,  Peninjauan kembali diadakan untuk mengkoreksi putusan yang berisi pemidaanaan, bukan mengkoreksi putusan di luar pemidanaan.

 Jika putusan bukan pemidanaan, misalnya bebas atau lepas dari tuntutan hukum maka pada dasarnya perkara tersebut sudah selesai. “ Sesuai dengan asas KUHAP,  untuk melindungi individu yang disebut tersangka, terdakwa dan terpidana dari kemungkinan kesewenang-wenangan aparat negara, baik aparatur penegak hukum maupun aparat peradilan,”jelasnya di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, Jum’at/ 15/2/2020.  

Jadi kalau putusan yang tidak berisi pemidanaan, misalnya bebas atau lepas kemudian diajukan peninjauan kembali, maka justru prinsip dasar KUHAP tidak akan tercapai.

Akademisi dari Universitas Muhammadiyah ini juga menyampaikan, seseorang  dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, kemudian dinyatakan bebas , melalui proses panjang, dimana negara hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dihadapkan ke pengadilan diberi label tersangka, terdakwa, terpidana, lalu diputus di tingkat pertama, banding dan kasasi sampai memiliki kekuatan hukum tetap. “Kalau dianggap ada kekeliruan karena keadaan yang sebelumnya  belum terungkap, nah itulah yang menjadi tujuan PK. Namun kalau seseorang dibebaskan, pada tingkat  pertama dibebaskan, pada tingkat banding dibebaskan, maka kemudian persoalan dianggap selesai,” tambahnya.

Asal muasal adanya PK oleh Jaksa  menurut  Chariul Huda ,berasal dari zaman orde dimana  saat itu indepedensi peradilan masih terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif. “Sepanjang pengetahuan saya  kasus PK oleh jaksa terhadap Muchtar Pakpahan diputuskan  dalam sidang kabinet pada zaman Pak Harto yang memerintahkan Jaksa Agung melakukan peninjauan kembali. Jadi jelas ada ketidakindependensian kekuasaan yudikatif,” terang nya.  

Tentu suasana berubah setelah reformasi , kekuasaan kehakiman dalam hal ini MA benar-benar independen, merdeka dan mandiri. Maka kemudian sikap Mahkamah Agung juga berbeda, mereka mengeluarkan SEMA No 4 tahun 2014 yang dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak mengajukan PK adalah hanya terpidana dan ahli warisnya. Kemudian diperkuat dengan  putusan Mahkamah Konstitusi No 133 yang memberikan tafsir terhadap pasal 263 ayat 1. “ Jadi situasinya sudah berubah, dulu adanya PK oleh penuntut umum  terjadi karena adanya intervensi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif dalam penyelenggaraan peradilan,” jelasnya.

Didalam KUHAP sangat jelas pengaturan mengenai PK , ada  empat hal  yang diatur mulai dari pasal 263 sampai dengan pasal 269, pertama adalah berkenaan dengan siapa yang berhak mengajukan PK, subyek pengajuan PK, ketiga adalah obyeknya dan keempat terkait dengan prosedur.  Empat hal tersebut diatur dipersiapkan untuk PK yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, tidak dimaksudkan untuk diajukan oleh pihak-pihak lain.  Pihak lain tersebut bukan hanya penuntut umum,namun juga penyidik, saksi ataupun pihak-pihak berkepentingan.

Lebih lanjut ia menjelaskan, soal jaksa mengajukan PK, terkait dengan subyek siapa yang berhak mengajukan PK, dalam pasal 263 ayat 1 jelas terpidana dan ahli warisnya, tidak pernah ada ketentuan yang secara eksplisit menyatakan kewenangan itu ada pada jaksa. Kemudian obyeknya dalam pasal 263 juga disebutkan yang bisa diajukan PK adalah putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap kecuali adalah putusan bebas atau putusan lepas. “ Terlepas dari Jaksa boleh atau tidak terhadap putusan bebas atau lepas tidak boleh diajukan PK,” tegasnya.

Baru setelah itu apa alasannya meninjau adanya kekeliruan pemidanaan,  untuk itulah novum  hanya bisa dikeluarkan pada tingkat PK.  Jadi harus ada pemidanaan, bukan putusan bebas. Menjadi tidak logis jika terpidana dan ahli warisnya setelah putusan bebas mengajukan Peninjauan Kembali. 

Ditambah dengan prosedur yang diatur dalam pasal 265 KUHAP yang menentukan bahwa dalam pemeriksaan permohonan dihadiri oleh pemohon dan jaksa. “ Jadi tidak mungkin jaksa adalah pemohon karena mekanisme nya dipersiapkan untuk terpidana yaitu pemohon dan ahli warisnnya, baik subyek, obyek,prosedur  semuanya disiapkan bagi terpidana atau ahli warisnya,” tuntas Chairul Huda, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6  +  1  =