Channel9.id – Jakarta – Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat ke angka 4,87% pada kuartal I/2025, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai situasi ini tidak sepenuhnya suram. Di balik tekanan struktural yang membebani dunia usaha, terdapat celah peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, mengungkapkan bahwa pelemahan ekonomi saat ini disebabkan oleh empat tantangan utama yang telah lama menghambat daya saing industri nasional: regulasi yang tidak mendukung efisiensi, tingginya biaya logistik (mencapai 23% dari PDB), ketidakpastian hukum di lapangan, serta rendahnya produktivitas tenaga kerja akibat mayoritas hanya berpendidikan dasar.
“Ini adalah persoalan struktural yang sudah lama menghambat kita. Tapi sekaligus momentum untuk melakukan perbaikan mendasar,” ujar Shinta dalam konferensi pers Apindo Indonesia Quarterly Update, Selasa (13/5/2025).
Tekanan terhadap sektor manufaktur juga tercermin dari data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang anjlok ke 46,7 pada April 2025, level terendah sejak Agustus 2021. Sementara konsumsi rumah tangga, yang biasanya meningkat saat Ramadan, justru tumbuh hanya 4,89%, menunjukkan melemahnya daya beli masyarakat. Hal ini dipicu oleh inflasi dan terbatasnya stimulus fiskal, terutama bagi kelompok berpendapatan menengah ke bawah.
Investasi juga mengalami perlambatan. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 2,12%, terendah dalam dua tahun terakhir. “Banyak investor bersikap wait and see menanti arah kebijakan pemerintahan baru, sementara hambatan struktural tetap menjadi tantangan,” kata Shinta.
Namun, di tengah tekanan itu, Apindo melihat adanya peluang besar yang belum tergarap optimal. Perang dagang antara AS dan China membuka potensi pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan oleh produk Indonesia, khususnya di sektor tekstil dan alas kaki.
Tarif tinggi yang dikenakan AS terhadap produk China (145%), Vietnam (46%), dan Bangladesh (37%) membuka ruang bagi Indonesia untuk memperluas pangsa pasarnya. Saat ini, Indonesia masih tertinggal dengan pangsa hanya 4,9% di pasar pakaian rajutan dan 9% di pasar alas kaki AS.
“Ini peluang yang harus kita kejar dengan mempercepat perjanjian dagang bilateral seperti TIFA dan CEPA, serta memperkuat mekanisme perlindungan perdagangan domestik,” tegas Shinta.
Apindo juga menyerukan adanya percepatan reformasi struktural agar momentum pemulihan ekonomi tidak hilang. Penguatan infrastruktur logistik, deregulasi, serta peningkatan kualitas tenaga kerja dinilai penting untuk menarik investasi dan meningkatkan produktivitas nasional.
Di sisi lain, pelemahan rupiah yang sempat menyentuh Rp17.000 per dolar AS turut menekan stabilitas. Meski Bank Indonesia telah dua kali memangkas suku bunga sejak September 2024, ruang pelonggaran kebijakan moneter tetap terbatas akibat tekanan eksternal, termasuk geopolitik dan arus modal keluar.
Sejumlah lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia pun telah menurunkan proyeksi pertumbuhan RI untuk 2025 ke level 4,7%, dengan OECD memperkirakan 4,9%. Namun Apindo tetap optimistis bahwa dengan langkah strategis dan koordinasi lintas sektor, Indonesia dapat memanfaatkan peluang global untuk memacu pertumbuhan secara berkelanjutan.