Channel9.id – Jakarta. Pemekaran Provinsi Papua, merupakan kepentingan strategis nasional yang tidak muncul sekarang ini. Sejak tahun 1980-an disaat Orde Baru rencana pemekaran sudah dimulai.
“Saya ingat ketikan masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Sebagai tindak lanjutnya (rencana pemekaran, red) dibuat tiga wakil gubernur mengurusi: Papua Selatan, Pegunungan Tengah dan Profinsi Papua Barat,” ujar Frans Maniagasi Intelektual asal Papua saat dihubungi di Jakarta, Kamis (19/5/2022)
Frans yang juga pernah terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Daerah Otonomi Khusus Papua yang melahirkan keberadaan Majelis Rakyat Papua atau MRP.
Baca juga: Tiga Kepentingan Landasi Isu Pemekaran Provinsi Papua
“Saya harap MRP fair, harus menerima aspirasi, baik yang kontra maupun yang pro pemekaran. Jangan hanya menerima aspirasi yang kontra saja,” ujar Frans.
MRP belum lama ini melakukan gugatan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas rencana pemekaran daerah otonomi baru (DOB). Ini yang menurut mantan Stafsus Khusus Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri tidak tepat.
“Mengutip pernyataan Prof Yusril Ihza Mahendra sebagai Pengacara Presiden di MK, MRP tidak memiliki legal standing menggugat UU Otonomi Khusus, karena MRP lahir dari UU Otsus sendiri. Jadi jangan bakar rumah sendiri,” katanya.
Sedangkan penolakan DOB yang banyak dilakukan oleh warga pegunungan juga ditampik oleh Frans. “Ini sejarah, bulan April 2008 saat Presiden SBY, Lukas Enembe (sekarang Gubernur Papua) yang saat itu masih menjadi Bupati Puncak Jaya dan Ketua Asosiasi Bupati se-Pegunungan Tengah meminta Presiden SBY agar ada Pemekaran Provinsi Pegunungan Tengah,” ujar Frans.
Karena itu, ada pemekaran sembilan kabupaten di Jayawijaya, diantaranya Kabupaten Tolikara, Memberamo Tengah, Yalimo, Ndunga, Lani Jaya dst. “Anak-anak (Pegunungan Tengah, red) itu yang sekarang menjadi para Bupati, anggota DPRD, di kabupaten baru itu,” katanya.
Menurut Frans Maniagasi, seiring waktu konsep pemekaran ini, sudah dilakukan uji kelayakan oleh Universita Cendrawasih (Uncen Jayapura) dan UGM Yogyakarta.
Hasilnya, perlu pemekaran tiga provinsi baru, mengikuti wilayah adat yang ada di Papua. Wilayah adat dengan kekhususan dan keistimewaan memang diakomodir di dalam UUD.
Frans juga menyebut bahwa selama 10 tahun pelaksanaan Otsus, 60-70 persen dana Otsus mengalir ke wilayah Pegunungan Tengah. “Baik dana Otsus sendiri, maupun dana kementerian dan lembaga lain,” kata Frans.
Apalagi menurut Frans, selama 20 tahun Otsus berbagai kemajuan nampak di Papua. “Halaman belakang Indonesia kita mulai terbuka, bahkan Presiden lebih 10 kali ke Papua dan Papua Barat. Ini artinya Presiden berkomitmen besar memajukan Papua menyamai daerah lain.”
Jadi ada manfaat besar pada pemekaran. Tinggal, lanjut Frans bagi mereka yang menolak pemekaran karena khawatir orang asli Papua (OAP) akan menjadi minoritas di tanah sendiri. Contohnya seperti suku Maori atau Aborigin di Australia dan Indian di Amerika. Inilah pentingnya kebijakan proteksi, afirmasi dan pemberdayaan bagi OAP.
“Harus ada kebijakan bahwa yang menjadi pejabat daerah dan pimpinan di OPD adalah putra asli Papua,” pungkas Frans.