Perusahaan sawit bakal disanksi
Ekbis

Harga dan Distribusi Minyak Goreng Masih Bermasalah, Apa Penyebabnya?

Channel9.id – Jakarta. Keberadaan minyak sawit mentah (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku minyak goreng dan bio energi, memang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Tingginya permintaan pasar yang berasal dari konsumen minyak sawit ini, menjadi gambaran akan pesatnya pertumbuhan industri minyak makanan dan non makanan di dunia, termasuk Indonesia.

Meski demikian, permasalahan mendasar minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia bukan dalam hal penawaran (supply) dan kapasitas produksi, namun dalam masalah harga dan distribusi.

Hal itu disampaikan Direktur Pemasaran Holding PT Perkebunan Nusantara III (Persero), Dwi Sutoro dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Sawit Berkelanjutan Volume 13 bertajuk ‘Minyak Sawit: Sumber Pangan dan Bioenergi Berkelanjutan’ di Jakarta, Kamis (13/4/2023). Adapun FGD itu diselenggarakan oleh Media InfoSAWIT yang didukung BPDPKS.

“Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan,” kata Dwi, dikutip dari keterangan resmi, Jumat (14/4/2023).

Ia mengungkapkan, statistik pemakaian CPO di Indonesia sebanyak 15 persen dari total produksi CPO nasional, atau sekitar 6,8 juta ton. CPO itu digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit, dibanding 55 persen yang diekspor, di mana penggunaan untuk kebutuhan rumah tangga mencapai 62 persen dan non rumah tangga sebanyak 38 persen.

Sebab itu, regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan agar fokus pada volume yang terkait industri minyak goreng sawit. Kemudian, kebijakan minyak goreng harus menjawab permasalahan terkait harga dan distribusi serta mekanismenya.

Pelaksanaan kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan resiko dari kontinuitas ketersediaan migor bersubsidi. Sebab, harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin), terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industrI CPO.

Sementara itu, harga olein internasional yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga CPO domestik menyebabkan tidak adanya kompensasi terhadap hilangnya margin pengusaha migor. Hal ini berbanding terbalik dengan harga olein domestik yang justru lebih menguntungkan.

Akibatnya, lanjut Dwi, insentif berupa izin ekspor tidak lagi menarik bagi produsen, sehingga mereka memilih tidak memproduksi migor bersubsidi. Untuk skema distribusi saat ini masih didominasi swasta dan afiliasi dari produsen migor swasta dan menggunakan jalur distribusi normal.

“Sebab itu, ke depan sebaiknya distributor diambil alih oleh perusahaan/badan usaha negara dan menggunakan jalur distribusi khusus migor bersubsidi,” usul Dwi.

Terkait masalah itu, Dwi mengatakan pihaknya saat ini sedang membangun kapasitas serta kapabilitas perusahaan dalam meningkatkan peran dan keterlibatan negara.

Baca juga: Mendag Gandeng Polri Berantas Mafia Minyak Goreng 

Adapun dua cara yang dilakukan PTPN untuk mewujudkan hal tersebut yakni pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak goreng, yang mana PTPN saat ini sedang menyiapkan kapasitas industri minyak goreng sebagai bagian dari proyek strategis nasional dengan kapasitas 3 juta ton per tahun. Kedua, menyiapkan pilot project minyak makan merah dengan kapasitas 10 ton per hari.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  86  =  92