Opini

Jalur Rempah: Masa Lalu dan Masa Depan Kita (3)

Oleh: Andre Donas*

Channel9.id-Jakarta. Perang dunia telah berakhir, bahaya ekspansi dari negara lain mulai mengecil kemungkinannya. Konsepsi geopolitik pun harus segera diubah. Konsep geopolitik kita yang selama ini cenderung defensif, dan lebih memusatkan perhatian pada pertahanan kedaulatan dari serangan luar, harus digeser menjadi aktifitas kreatif yang mampu memaksimalkan potensi laut buat kesejahteraan.

Laut harus dilihat sebagai peluang, sebagai potensi ketimbang rintangan. Pandangan ini akan mereinterpretasi dan mereorientasi terhadap doktrin wawasan nusantara yang kita miliki.

Jaman berubah demikian pula konsepsi geopolitik bangsa-bangsa di dunia. Geopolitik modern tidak lagi memfokuskan dirinya pada strategi perluasan kekuasaan dan kolonisasi wilayah seperti dilakukan bangsa-bangsa kolonial berpuluh-puluh tahun lalu. Globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi menggeser praktek-praktek peningkatan power sebuah negara melalui perluasan wilayah menjadi peningkatan power melalui praktek Geoekonomi dan Geokultural. Urusan politik- keamanan bergeser menjadi soal ekonomi dan budaya. Celakanya ketergantungan, jika tak mau disebut keterjajahan, bangsa kita di bidang ekonomi dan budaya justru fakta yang sulit dibantah. Perlu upaya dekolonisasi ekonomi dan budaya untuk menjadi negara mandiri.

Lalu kemandirian seperti apa yang bisa kita capai di bidang ekonomi dan budaya, jika kita tidak bisa memanfaatkan segala potensi yang kita punya? Jawaban yang mungkin salah satunya adalah melalui upaya rekonstruksi dan revitalisasi potensi bahari yang kita miliki. Kenapa bahari? Karena laut adalah keunggulan komparatif yang nyata-nyata kita miliki dibanding bangsa lain di dunia. Bangsa lain yang bukan bangsa Bahari mampu mengoptimalkan potensi lautnya, lucunya kita justru tidak mampu menjadikan wilayah laut sebagai sumber kehidupan masa depan kita. Kita harus mampu mengoptimalkan potensi sejarah dan potensi geografis kehidupan bahari kita.

Beruntung kita punya jejak sejarah panjang kehidupan bahari yang terekam dengan baik dalam wujud Jalur Rempah. Jalur Rempah adalah bukti peran besar bangsa kita sebagai bangsa bahari dalam jalur perdagangan dunia yang sangat intensif pada masanya. Perdagangan rempah telah menghubungkan dunia barat dan timur, utara dan selatan, yang jauh lebih besar pengaruhnya terhadap revolusi teknologi perlayaran dan perdagangan ketimbang Jalur Sutra atau jalur lainnya. Kemajuan dunia pelayaran dan perdagangan tak mungkin dipicu hanya oleh upaya mencari Sutra dan Emas. Sutra dan Emas bukan kebutuhan primer yang butuh upaya luar biasa. Rempah lebih dibutuhkan untuk kuliner, obat-obatan, kosmetik, pengawet, dan terbukti telah merevolusi cara hidup, bahkan menciptakan Kolonialisme dan Imperialisme yang merubah peta geopolitik dunia.

Merekonstruksi dan merevitalisasi potensi bahari dengan demikian sama dan sebangun dengan upaya merekonstruksi dan merevitalisasi Jalur Rempah. Karena aspek sejarah, geografi, ekonomi dan budaya yang sangat kuat berkelindan dalam konsep Jalur Rempah. Rekonstruksi adalah proses penataan ulang cara berpikir (mindset) melalui tuntunan Imajinasi Sejarah yang pernah dan hendak dibangun. Tentu ini tidak bermaksud mengembalikan situasi seperti dulu, tapi sekedar membuat kita sadar dari amnesia sejarah, dari lupa lautan, serta meyakinkan diri kita sebagai bangsa yang mampu hidup dan mengembangkan sebuah kebudayaan baru di laut. Jika dulu mampu kenapa sekarang tidak? Jangan-jangan, kita cuma sekedar lupa cara mengakrabkan diri dengan laut.

Untuk itu, kisah-kisah atau imajinasi sejarah harus direproduksi dan diproduksi terus-menerus. Untuk imajinasi ini, Paul Ricouer membagi menjadi 2 tingkatan: Pertama, Imajinasi reproduktif (Reproductive Imagination), yaitu imajinasi yang dibangun dengan cara menghadirkan kembali kenangan-kenangan dan kejayaan masa lalu. Yang Kedua, disebut sebagai imajinasi produktif (Productive Imagination), yaitu imajinasi kreatif yang menghadirkan gambaran tentang masa depan, yang belum pernah ada dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Baca juga: Jalur Rempah: Masa Lalu dan Masa Depan Kita (2) 

Imajinasi tingkat pertama bisa dikatakan sebagai kebanggan kita pernah menjadi bangsa bahari. Romantisme masa lalu sering menjadi alasan kuat untuk sadar. Tapi imajinasi ini dengan segera kehilangan daya pikatnya. Lagu nenek moyangku seorang pelaut, tidak serta-merta membuat para cucunya ingin menjadi pelaut. Dia cuma membuat kita sadar akan asal-usul dan potensi serta bakat yang kita punya. Di saat imajinasi tingkat pertama mengalami penurunan efektifitas, imajinasi tingkat kedua yang disebut imajinasi produktif perlu dihadirkan. Itu sebabnya berbagai penelitian sejarah, arkeologi dan antropologi tidak cukup berhenti pada kesimpulan “kita pernah” tapi harus dikembangkan menjadi “kita bisa”. Membuktikan bahwa bangsa kita pernah berjaya di laut, tidak cukup untuk membangun kesadaran bahwa kita bisa dan perlu menguasai ilmu pelayaran kembali, menguasai laut kembali. Imajinasi Produktif dibutuhkan saat kisah-kisah kebesaran masa lalu tidak mampu memberi jawaban dan harus diganti iming-iming tentang masa depan yang di dalamnya dihadirkan sebuah horizon of expectation. Janji-janji mesianistik tentang bangsa yang besar.

Kampanye-kampanye dan komunikasi massal tentang Jalur Rempah harus segera diintensifkan. Pikiran masyarakat harus dibombardir dengan pesan-pesan dan tawaran berbagai keuntungan menghidupkan kembali Jalur Rempah. Dibutuhkan sebuah strategi komunikasi untuk mengubah mindset tadi. Film-film tentang laut, khususnya tentang Jalur Rempah harus diproduksi. Festival- festival seni yang mengangkat kekayaan tradisi masyarakat pesisir harus digalakkan. Buku-buku tentang laut dan Jalur Rempah harus dicetak. Promosikan berbagai kehebatan kemampuan adaptasi masyarakat dan budaya bahari. Tentunya semua ini telah dilakukan. Tapi itu saja tidak cukup. Terlalu banyak buku, film-film dan festival seni yang monoton dan membosankan yang tidak bisa dinikmati dan diminati khalayak. Yang juga dibutuhkan adalah kreatifitas dan inovasi.

Tidak mudah memang merubah dan membalik begitu saja budaya darat yang sudah kita hidupi selama bertahun-tahun. Kampanye-kampanye yang bersifat penyadaran tentu mudah sekali terjatuh menjadi cliché dan sloganistik. Karena sebenarnya merubah mindset tak bisa cuma dengan menjejali pikiran masyarakat dengan himbauan dan ajakan. Dibutuhkan upaya konkret yang intinya menjadikan laut sebagai ruang budaya baru, basis produksi baru. Menjadikan laut sebagai basis produksi, akan mengubah suprastruktur kesadaran masyarakat dengan sendirinya.

Di sini dibutuhkan revitalisasi Jalur Rempah dengan menghidupkan kembali Jalur Rempah dalam kehidupan kita. Menghidupkan Jalur Rempah tentu berkaitan dengan manfaat geografisnya, yang intinya menghidupkan kembali sarana dan infrastruktur yang memungkinkan berlangsungnya pelayaran di Jalur Rempah. Masyarakat harus didorong menanam berbagai jenis rempah yang akan menjadi produk unggulan. Pelabuhan-pelabuhan harus dibangun dan diaktifkan kembali. Kapal- kapal harus kembali menjadi tulang punggung lalu lintas perdagangan antar pulau. Rempah yang berlimpah, diolah dan diproses menjadi produk jadi berkualitas ekspor dengan membangun pabrik- pabrik dan industri pengolahan. Bangun pusat riset dan pengembangan rempah serta budidayanya. Biarkan kapal-kapal dari seluruh dunia datang untuk mencari rempah kembali. Indonesia akan menjadi pusat rempah dunia. Karena rempah adalah Indonesia.

Menghidupkan Jalur Rempah tidak bisa tidak memang harus dengan membangun alasan yang membuat orang mau datang ke negeri kita. Tentu ini bukan sebuah upaya yang sporadik dan temporal, hangat-hangat tahi ayam. Membangun kejayaan Jalur Rempah harus menjadi sebuah upaya jangka panjang yang terencana. Karena selain manfaat eksternalnya, merevitalisasi Jalur Rempah dengan sendirinya berarti ikut memperbarui KeIndonesiaan kita dan membuatnya terus relevan dan konteksual dengan kebutuhan jaman di tengah pusaran perubahan besar-besaran yang terjadi di dunia. Sesungguhnya merekonstruksi dan merevitalisasi Jalur Rempah adalah semacam mekanisme adaptif, upaya kita untuk bertahan sebagai bangsa.

Jalur Rempah harus dilihat sebagai sebuah jalur budaya. Jalur yang dalam sejarahnya, telah terjadi interaksi budaya dari begitu banyak tempat di Nusantara dengan budaya asing, penyebaran agama, pendidikan, pertukaran ilmu pengetahuan, seni, bahasa, teknologi perkapalan, dan juga pertemuan berbagai kepentingan politik. Jalur inilah yang ikut membangun budaya dan identitas Indonesia yang majemuk seperti sekarang ini. Jalur Rempah juga menguatkan ikatan Indonesia sebagai bangsa yang satu dengan keanekaragaman budaya, tradisi, bahasa, agama, dan etnis. Dengan merekonstruksi dan merevitalisasi, berarti kita memperkuat ikatan Indonesia tadi yang di hari-hari terakhir ini disibukkan oleh wacana-wacana intoleransi akibat menguatnya sentimen primordial.

Tentu sudah banyak usaha yang dilakukan untuk itu. Tapi sekali lagi, membangun budaya bahari melalui rekonstruksi dan revitalisasi Jalur Rempah adalah pilihan strategis sekaligus tantangan bangsa ke depan. Jatuh bangunnya bangsa akan bergantung pada kemampuan kita mengelola mengembangkan laut, dan itu artinya juga akan mempengaruhi sukses tidaknya mewujudkan mimpi Indonesia menjadi poros maritim dunia, melalui program Jalur Rempah. Saatnya untuk tidak lagi meremehkan dan memandang rendah budaya bahari. Meremehkan budaya bahari sama dengan merendahkan asal-usul kita sendiri dan membutakan mata dari kemungkinan- kemungkinan dan peluang masa depan. Seperti yang telah kita baca sepanjang tulisan ini: Sesungguhnya, Jalur Rempah adalah masa lalu dan masa depan kita.

*Penulis dan Pegiat kebudayaan, anggota Perkumpulan Luar Kotak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  62  =  71