Oleh: Humaidi, M. Hum
Channel9.id – Jakarta. Hari ini, kita digaduhkan dengan perdebatan mengenai “Kamus Sejarah Indonesia” terbitan Direktorat Sejarah Kemendikbud pada 2017. Perkara yang diributkan adalah ketiadaan KH. Hasyim Asy’ari dalam deretan nama di kamus tersebut dan munculnya nama-nama tokoh komunis dan Abu Bakar Baasyir.
Kritik paling keras disampaikan oleh Hasanuddin Wahid, Sekjend PKB, partai yang identik dengan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Beberapa pesan yang beredar dimedsos bahkan lebih keras menyebut bahwa hal ini adalah faktor kesengajaan yang menunjukkan bahwa pemerintah Pro-Komunis.
Melihat keributan tersebut, saya pun membaca ulang buku tersebut. Memang benar, nama KH. Hasyim Asy’ari tidak ada. Nama KH. Wahid Hasyim dan KH. Wahab Chasbullah ada. Dan buat warga NU, nama Hadratus Syeikh adalah kehormatan dan wajah dari NU itu sendiri. Tokoh Muhammadiyah dan Persis, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Ahmad Hassan namanya tertera dalam kamus.
Tentusaja sensitifitas ini membuat “gorengan” ini terasa renyah, karena pintu masuknya adalah NU, organisasi yang sering dicibir sebagai organisasi Islam yang pro pemerintah.
Saya memahami bahwa buku-buku terbitan kementerian seperti ini, ditulis berbasis kejaran kinerja dan anggaran. Jika anggaran berlaku satu tahun, maka dalam setahun buku itu harus diterbitkan, apapun bentuknya.
Membuat kamus tebal dua jilid dengan total 715 halaman (354 dan 361 halaman), tentunya kalau dikerjakan serius dan detail akan memakan waktu lebih lama. Kemungkinan, dalam proses penulisannya, karena ini adalah tim kerja, maka penulisan dipartisi. Setiap penulis bertanggungjawab atas tema atau kurun waktu tertentu.
Penulis yang menulis bagian tokoh kolonial, memasukkan Van Mook, kemudian yang menulis bagian masa pergerakan nasional juga menguraikan tokoh DN. Aidit. Sebaliknya yang bagian pergerakan dan kemerdekaan, terlupa memasukkan KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh penting dalam Sejarah Indonesia. Nama hadratus syeikh, ditemukan saat membahas Nahdlatul Ulama saja.
Saya kira, masalah keterlewatan ini adalah masalah kealpaan saja yang memang sudah sepantasnya dikritik dan direvisi. Penulisnya hampir semua lulusan ilmu sejarah kampus ternama, nara sumbernya juga dari segi keislaman cukup baik. Secara pribadi, saya mengenal kedua nara sumbernya yakni Pak Abdurrahman dan Pak Didik Pradjoko. Kedua editornya, Pak Susanto Zuhdi adalah ahli sejarah maritim, dan Pak Nursam adalah tokoh penerbitan Ombak yang banyak menghasilkan buku sejarah yang bagus dan baik.
Keberadaan pembaca utama seorang sejarawan senior idealis, Taufik Abdullah, yang menulis “Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatra Barat, 1927-1933 “, menguatkan juga bahwa hal ini bukan kesengajaan. Dan manusia tentunya sangat manusiawi jika terlupa.
Jika ini kesengajaan, sangat mustahil rasanya. Mengingat Direktorat Sejarah Kemendikbud juga banyak menerbitkan buku dengan tema sejarah keislaman, seperti: “Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia” (5 jilid), “Islam, Perdagangan dan Pasar Global” serta “Surauku, Santri dan Pesantrenku”. Semuanya membincangkan Islam, kebudayaan Islam di Indonesia dan lembaga pendidikan Islam. Berbeda dengan Kamus Sejarah Indonesia yang tidak dicetak, buku-buku tersebut dicetak semua. Kebetulan, dua buku terakhir saya memilikinya karena diberikan oleh Kemendikbud pada suatu kegiatan.
Pada 2017, Museum Kebangkitan Nasional sebagai bagian Direktorat Sejarah bahkan melaunching buku khusus mengenai ketokohan KH. Hasyim Asy’ari. Di dalam buku tersebut, terdapat tulisan dari Ahmad Baso dan Rijal Mumazziq. Keduanya adalah intelektual muda NU. Fakta ini menunjukkan bahwa keberadaan KH. Hasyim Asy’ari tidak dilupakan bahkan dibuatkan buku tersendiri.
Selain penerbitan buku di atas, sebagai orang yang terlibat dalam banyak kegiatan Direktorat Sejarah, seingat saya Direktorat Sejarah banyak melakukan kajian dan penulisan mengenai kaum santri dan juga Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.
Kegiatan diskusi dan seminar mengenai Hadratus Syeikh juga banyak dilakukan. Pada 2016 misalnya, saya pernah diundang untuk memoderatori diskusi mengenai KH. Hasyim Asy’ari di Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas) dimana nara sumbernya adalah KH. Shalahuddin Wahid dan Dr. Erwiza Erman dari LIPI.
Pada November 2017 di Muskitnas, saya juga menjadi moderator dalam diskusi kepahlawanan kaum santri dengan pembicaranya KH. Agus Sunyoto, Dr. Djoko Marihandono dan Dr. Asvi Warman Adam. Acara dimulai dengan tahlilan dan diakhiri dengan pameran sepekan Tokoh KH. Hasyim Asy’ari.
Pada akhirnya saya ingin menyebutkan bahwa kealpaan ini adalah sebuah kewajaran. Sudah sepantasnya buku ini diberikan masukan dan perbaikan. Ada tokoh yang belum dimasukkan, dan pada bagian lain ada juga tokoh yang ditulis tidak sampai selesai.
Menulis tokoh DN. Aidit misalnya, ditulis di dua jilid. Dalam jilid pertama 1900-1950, tulisan Aidit diakhiri hingga tahun 1965, dimana dalam buku itu tertulis “Pada 1965 terjadi Perstiwa 30 September. Sebagai ketua PKI, Aidit diburu. Ia berhasil ditangkap di sekitar Boyolali Jawa Tengah”. Sementara pada Jilid Kedua (1951-1998), tertulis peran Aidit hingga tahun 1945. Sangat jelas, pada bagian ini agaknya tertukar.
Pada akhirnya, sebuah karya intelektual, bisa saja memiliki kekeliruan dan hal tersebut dapat dikritik dan diberikan masukan. Seharusnya juga, pekerjaan intelektual seperti penulisan buku hendaknya tidak dibatasi tahun anggaran. Sehingga isinya lebih dapat dipertanggungjawabkan dan tidak berhenti begitu tahun anggaran selesai. Saya yakin, dengan beragam masukan, maka Kamus Sejarah Indonesia ini akan menjadi pijakan bagi kelahiran kamus sejarah Indonesia yang terus tersempurnakan. Sebuah langkah telah dimulai, dengan kritik dan masukan.
Kesalahan penulisan “Kamus Sejarah Indonoesia” pada halaman dua sudah menunjukkan, bahwa kealpaan itu ada. Karena sejatinya Indonesia hadir dihati kita semua.
Penulis adalah Koordinator Prodi Pendidikan Sejarah FIS UNJ