Channel9.id, Jakarta – Bank Dunia mengeluarkan peringatan serius tentang kondisi kelas menengah Indonesia yang kian terhimpit. Dalam laporan terbarunya, lembaga keuangan global ini menyoroti bahwa kelompok masyarakat yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional justru mengalami penyusutan dan ketertinggalan yang mengkhawatirkan pascapandemi Covid-19.
Menurut Habib Rab, Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, kelas menengah Indonesia tidak hanya menyusut jumlahnya dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024, tetapi juga mengalami stagnasi konsumsi dan mobilitas sosial yang menurun drastis.
“Kelas menengah kita makin tertinggal, baik dibandingkan dengan kelompok kaya maupun kelompok miskin,” ujar Habib dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025 di Jakarta, Senin (23/6).
Penyebab utama kemunduran ini, menurut Bank Dunia, berasal dari sektor ketenagakerjaan yang belum pulih dan bahkan memburuk. Mayoritas masyarakat masih bekerja di sektor informal atau sektor-sektor berproduktivitas rendah dengan tingkat upah yang stagnan. Misalnya, sepanjang tahun lalu, 52% dari pekerjaan baru tercipta justru berada di sektor perdagangan grosir, eceran, dan pertanian—sektor yang dikenal sebagai penyerap tenaga kerja berupah rendah.
Lebih dari itu, sekitar 60% pekerja Indonesia kini berada di pekerjaan informal yang tidak menjamin perlindungan atau keberlanjutan. Bahkan, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) terus melonjak, dari 3.325 kasus pada Januari menjadi 18.610 pada Februari 2025—dua kali lipat dibandingkan periode sama tahun lalu. Sektor manufaktur di Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Riau menjadi daerah terdampak paling besar, khususnya di industri tekstil, elektronik, dan alas kaki.
Di saat yang sama, upah nominal hanya tumbuh 1,8% secara tahunan (yoy) pada Februari 2025, hampir sejajar dengan laju inflasi. Artinya, daya beli tidak mengalami peningkatan signifikan, bahkan cenderung menurun.
Bank Dunia juga mencatat bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada di sektor yang hanya menghasilkan nilai tambah sekitar Rp8 juta per orang per bulan, jauh dari sektor-sektor produktif dengan kontribusi di atas Rp24 juta. Hanya 10% tenaga kerja yang bekerja di sektor dengan produktivitas tinggi, mempertegas kesenjangan struktur ekonomi Indonesia saat ini.
Imbas dari lemahnya produktivitas dan stagnasi pendapatan ini langsung terasa pada pola konsumsi. Dalam lima tahun terakhir (2019–2024), konsumsi kelas menengah hanya tumbuh sekitar 1,3% per tahun, tertinggal jauh dibanding kelas bawah (2–3%) yang terbantu oleh bantuan sosial, dan kelas atas (3%) yang diuntungkan oleh akumulasi modal dan stabilitas pendapatan.
“Jika tren ini dibiarkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa kehilangan fondasinya,” kata Habib Rab.
Ia menambahkan bahwa kelas menengah yang kuat dan berkembang adalah syarat mutlak untuk menciptakan pasar domestik yang dinamis dan mendorong permintaan terhadap produk bernilai tambah tinggi, seperti teknologi, layanan kesehatan premium, hingga pendidikan berkualitas.
Bank Dunia menyimpulkan bahwa untuk memulihkan dan memperkuat kembali kelas menengah, Indonesia perlu melakukan reformasi besar-besaran di sektor ketenagakerjaan—mulai dari penciptaan pekerjaan produktif, peningkatan upah riil, hingga pengurangan informalitas kerja secara sistematis.