Ditengah era post truth sekarang ini, dimana kebenaran tersembunyi dibalik narasi yang gegap gempita. Kebenaran tetap tersimpan dan mencari jalannya sendiri. “becik ketitik, ala ketoro”. Kebenaran akan tercatat, dan kejelekan juga akan terlihat sendiri.
Pun halnya ketika melihat terjadinya kasus korupsi Asabri, yang nilai kerugiannya mencapai 22,7 triliun. Sebuah angka fantastis yang membuat geleng-geleng kepala. Angkanya horor banget. Publik pun setiap hari dibanjiri informasi yang menggiring opini adanya kasus besar, mega skandal kasus Asabri.
Stigma koruptor langsung tertanam di kepala para pelakunya. Kejaksaaan yang melakukan penyelidikan dan penyidikan langsung menetapkan 9 orang tersangka kasus Asabri.
Penetapan tersangka dilakukan berdasar perhitungan sementara kejaksaan, yakni 23 triliun. Hasil audit BPK yang baru rampung di akhir bulan Mei, tiga bulan setelah penetapan tersangka mengkoreksi kerugian menjadi 22,7 triliun.
Padahal ketika angka kerugian ditetapkan bisnis Asabri sedang baik-baik saja. Tidak seperti Jiwasraya yang tidak mampu bayar klaim nasabah. Lantaran tidak punya dana untuk bayar. Pembayaran Asabri mulus, pembayaran klaim berjalan lancar dan semua kewajiban-kewajiban yang lain pun lancar jaya.
Bahwa ada nama-nama seperti halnya Benny Tjokro dan Heru Hidayat yang tersangkut kasus Jiwasraya, memang benar. Mereka berdua memiliki kerjasama dengan Asabri dalam hal investasi. Namun kerjasama tersebut tidak membuat Asabri limbung.
Maka ketika ada penetapan tersangka, mengagetkan banyak pihak. Cepat sekali prosesnya. Direksi yang tidak lagi menjabat ikut dijadikan tersangka. Lantaran harus bertanggungjawab terhadap investasi saham dan reksadana yang sudah dilakukan.
Investasi di pasar saham dijadikan salah satu indikasi adanya ketidakberesan manajemen Asabri dalam mengelola investasi. Hal ini memang cukup mengherankan, investasi saham memang tidak selamanya menguntungkan, namun juga tidak selamanya merugikan.
Pasar saham bergerak dinamis kadang naik kadang turun. Jika sedang terjadi penurunan harga, sepanjang saham tidak dijual/cut loss maka tidak terjadi kerugian yang nyata. Terkecuali jika dijual maka potensi kerugian menjadi nyata, jual rugi. Mana mau orang berinvestasi jual rugi, mereka akan menunggu momentum sampai harga saham tersebut naik lagi untuk mencari”cuan”.
Pasar saham adalah pasar yang legal, sah dan bukan pasar gelap. Bahwa ada permainan goreng-menggoreng saham itu sudah biasa. Bursa pun sudah mengantisipasinya dengan melakukan pengawasan saham-saham yang bergerak tidak normal.
Dampak penanganan kasus Jiwasraya dan Asabri memang cukup menggoncang pasar saham. Ada beberapa sekuritas asing yang menarik diri dari pasar saham di Indonesia.
Morgan Stanley Sekuritas Indonesia untuk sementara menghentikan kegiatan perdagangan efek. Kemudian Merril Lynch Sekuritas, Citibank Indonesia, PT Deutsche Bank Sekuritas Indonesia dan PT Nomura Sekuritas Indonesia. Mereka diduga menghentikan bisnisnya di pasar saham lantaran adanya ketidakpastian penegakan hukum di Indonesia.
Kembali lagi ke kasus Asabri. Pertanyaanya adalah apakah investasi di pasar saham yang dilakukan oleh Asabri tanpa melakukan kajian yang matang, tanpa adanya analisa yang mendalam baik fundamental maupun teknikalnya?
Menilik portofolio manajemen Asabri, salah satunya adalah Hari Setianto, Direktur Keuangan dan Investasi Asabri, Periode 2014-2019. Ia adalah mantan presiden IIA (Institut of Internal Auditors) Indonesia. Organisasi Profesi yang menaungi para auditor internal di Indonesia.
Rasanya tidaklah mungkin orang sekaliber Hari Setianto mengorbankan integritasnya dalam tindakan yang bertentangan dengan profesi dan hati nuraninya sendiri. Melakukan tindakan investasi di pasar saham secara serampangan dan ugal-ugalan.
Sebagai auditor ia ada di garis depan dalam menjaga perusahaan dari tindakan-tindakan curang maupun penggelapan.
Komitmennya dalam mewujudkan Good Corporate Governance (GCG) tersebar dimana-mana. Baik sebagai pembicara seminar maupun dalam tulisan-tulisanya di media massa. Hari Setianto memiliki rekam jejak panjang dalam pengembangan profesi audit di Indonesia.
Pria kelahiran Purbalingga ini juga dikenal sebagai konsultan dalam bidang Governance, Risk Management and Compliance di berbagai lembaga. Sebagai ahli dalam bidang tata kelola dan manajemen resiko, ia memiliki kemampuan membaca sebuah korporasi dalam kondisi sehat atau sakit.
Sederet sertifikasi dan pelatihan yang dimiliki Hari Setianto, semakin menambah kemampuan profesionalnya. Tak hanya itu, ia juga membuat buku yang menjadi salah satu referensi bagi para auditor. Buku berjudul “Standar Profesi Audit Internal” merupakan buah pemikirannya dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan profesi audit.
Di Asabri pun ia melakukan berbagai gebrakan untuk menjadikan Asabri perusahaan yang memiliki akuntabilitas tinggi.
Hari Setianto membuat pedoman panduan penempatan dana investasi, semua rencana dan pelaksanaan investasi harus berpegang teguh kepada panduan tersebut. Panduan tersebut bukan sekedar panduan kosong formalitas belaka, namun menjadi acuan perusahaan.
Namun kini ia harus menjadi tersangka, sedih, kaget dan kecewa tentu berkecamuk dalam diri Hari Setianto. Ia yang membuat pedoman, aturan, melakukan audit dan memegang prinsip-prinsip profesionalisme justru menjadi korban.
Apakah ada aroma lain di luar hukum yang berpengaruh dalam proses pengusutan kasus Asabri.Kita tidak tahu dan hanya bisa menebak-nebak. Jika ada sangat disayangkan. Karena para profesional yang bekerja dengan tekun dan memegang teguh prinsip akan menjadi korban.
Semoga kebenaran akan terungkap dalam proses hukum yang sekarang terjadi. Para penegak hukum yang menangani kasus memilah dengan teliti mana yang bersalah dan tidak, bekerja seadil-adilnya “tidak gebyah uyah”menyamaratakan kesalahan 9 orang yang sudah menjadi tersangka.