Oleh: Dr. Lukis Alam, SS., M.Eng., M.Si
Channel9.id – Jakarta. Belakangan, kita dikejutkan dengan pemberitaan media tentang pengeboman di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Jakarta. Sungguh mengejutkan dan menyedihkan, di tengah pandemi yang belum usai ada pihak yang sengaja membuat gaduh situasi kamtibmas nasional.
Bagaimana tidak, masyarakat sebenarnya sudah sangat jenuh dengan tindakan terorisme yang berulang-ulang, apalagi mengatasnamakan agama. Sejatinya semua agama tidak ada mengajarkan hal demikian. Agama mengajarkan kedamaian dan saling menghormati satu dengan lainnya, apalagi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Apa yang bisa diharapkan dengan perilaku para pelaku teror tersebut?. Apalagi melakukan penyerangan di tempat ibadah umat beragama, sungguh sangat picik cara berpikir mereka, hanya dengan menyerang tempat ibadah, lalu dengan mudah para pelaku teror tersebut mengklaim mendapatkan pahala jihad. Atas dasar apa mereka menyimpulkan bahwa teror yang dilakukan adalah bagian dari ajaran agama?
Mereka terjebak kepada doktrin yang salah, ajaran agama bagi para pekaku teror hanya mendatangkan egoisme individu semata, kebenaran yang diyakini hanya milik mereka saja.
Bila tempat ibadah menjadi sasaran empuk penyerangan, maka sesungguhnya para pelaku teror itu juga melawan Tuhan dan kebenaran hakiki yang terkandung dalam Kitab Suci. Artinya, Tatkala Tuhan pun dilawan, bagaimana mungkin perilaku kejam para pelaku teror dikatakan tindakan terpuji, alih-alih mendapatkan surga, justru Tuhan saja membenci tindakan bunuh diri para pelaku teror. Menurut ajaran Islam, tindakan teror tersebut kelak di akhirat juga akan mendapatkan balasan dari Tuhan. Maka sesungguhnya, niatan teror itu pun sudah salah dan fatal, berakibat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Fakta di lapangan, indikasi para pelaku teror tersebut adalah mereka generasi milenial. Paparan ideologi radikal tampaknya sudah merambah generasi muda. Perkembangan teknologi informasi yang demikian cepat disinyalir menyumbang model penyebaran paham radikalisme di kalangan anak muda, terutama jika dikaitkan dengan beberapa pelaku yang masih berusia di bawah 30 tahun.
Internet menjadi ruang terbuka untuk melakukan propaganda, hasutan terselubung bahkan ajakan merekrut anggota pun dengan mudah bisa dilakukan. Tawaran-tawaran menggiurkan yang dilakukan oleh para teroris dalam menjual “janji-janji manis” semakin mudah diakses, seolah kapling surga milik mereka seorang. Semakin ke sini, aksesbilitas internet juga kian murah, konten-konten provokatif semakin mudah ditemui, yang pada akhirnya mengajak untuk melakukan serangan terorisme.
Alasan logis lainnya, internet juga memicu tumbuhnya ruang global yang semakin mempercepat untuk melakukan serangkaian rencana penyerangan, bahkan ketika merekrut anggota dengan mudah bisa dilakukan, karena jangkauan internet juga jauh sangat luas dan kerahasiaan identitas (anonimitas) menjadi aspek yang mereka pertaruhkan, karena hal itu menjadi “ladang bisnis” yang menguntungkan organisasi teroris untung semakin melebarkan sayap.
Serangan lone wolf menjadi tren yang digandrungi oleh para pelaku milenial, karena bisa jadi para pelaku tersebut merasakan sensasi “angin surga” yang berhembus, dan tindakan fatal tidak bisa terelakkan. Aplikasi Facebook dan twitter disinyalir turut memicu proses indoktrinasi virtual terhadap para pelaku teror yang menyasar anak muda. Kedua medsos ini sangat mudah digunakan untuk menyusun konten-konten propaganda, bahkan mungkin juga dari kedua media tersebut penggalangan dana bisa dilakukan.
Tidak kalah hebatnya penggunaan aplikasi chat seperti WhatsApp dan Telegram, telah menjadi media interaksi di antara mereka, dengan mudah mereka saling berkirim pesan, kemudian tersedianya grup-grup di aplikasi pesan tersebut yang digunakan merekrut anggota. Maka tidak aneh agenda terorisme yang memanfaatkan konvergensi teknologi yang oleh Barry Collin, seorang pakar intelejen Amerika, disebut sebagai cyberterrorism, istilah tersebut sudah dipopulerkan sejak era 90-an.
Kehadiran internet dalam level berbeda harus dipahami sebagai media yang mampu menampilkan kontra narasi dan kontra radikalisasi terhadap paham-paham semu yang mengatasnamakan agama, padahal kebenaran yang mereka sampaikan hanya untuk tindakan konyol, penghancuran peradaban kemanusiaan, dan hanya “melacurkan” nilai-nilai agama kepada tindakan kekerasan yang diusung oleh kelompok yang tidak bertanggungjawab.
Terorisme saat ini telah bergeser kepada jihad individualistik sebagaimana terlihat dalam penyerangan di kedua lokasi kemarin. Dalam aspek berbeda, adanya terorisme bukan hanya dihadapkan pada pelaku, kelompok, bahkan jaringan di mana mereka terafiliasi. Lebih dari itu, terorisme adalah tindakan yang sangat membahayakan sekaligus dapat menumbuhsuburkan budaya kekerasan yang terlahir dari keyakinan, doktrin, dan ideologi yang menyerang kesadaran kemanusiaan yang sejatinya menghendaki kedamaian dan ketenangan.
Anggapan yang paling memungkinkan, para pelaku teror itu berargumen tindakan mereka bagian dari sikap milleniaristik, yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepentingan duniawi, bahkan mereka menganggap tindakan teror itu adalah untuk mencapai tujuan sakral dan abstrak, yang mereka pun tidak mampu mencapainya. Oleh karena itu, terorisme model inilah paling dirasakan akibatnya dan paling banyak menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat.
Mengakhiri tulisan ini, setidaknya sacred terror (teror suci) yang oleh David Rapoport dikategorikan sebagai alasan utama menjamurnya tindakan terorisme yang dikaitkan dengan radikalisasi agama harus menjadi perhatian seluruh elemen bangsa ini. Tidak hanya menjadi kewajiban aparat Kepolisian dan TNI dalam menanggulangi terorisme, lebih dari itu, diperlukan sinergitas energi dan usaha dalam membangun iklim kesejukan, dengan tidak saling menyalahkan satu dengan lainnya. Kebesaran bangsa Indonesia harus dibangun dengan saling bekerjasama, bahu-membahu mengedepankan kebersamaan dan menghilangkan ego superioritas kelompok, demi membangun kejayaan bangsa Indonesia.
Penulis adalah Analis Sosial, Teknologi & Keagamaan dan Dosen di Institut Teknologi Nasional Yogyakarta