Channel9.id-Jakarta. Setelah Telkomsel mendapat izin untuk menggelar 5G, Indosat Ooredoo tak mau ketinggalan hingga akhirnya perusahaan ini juga mendapat izin yang sama. Tampaknya sejumlah operator telekomunikasi lainnya mengupayakan hal serupa, misalnya Smartfren.
Menurutu Ketua Forum 5G Indonesia Sigit Puspito Wigati Jarot, operator telekomunikasi di Indonesia berlomba-lomba menggelar 5G adalah hal yang wajar. Pasalnya, 5G sudah ada di banyak negara sehingga penggelaran 5G di Indonesia bukan hal aneh.
Ia melanjutkan bahwa operator telekomunikasi harus berani mengeksplor bisnis model 5G yang lain seperti 5G untuk private cellular network, 5G untuk daerah rural, aplikasi 5G untuk industri, atau 5G untuk melengkapi fixed broadband.
“Banyak sekali potensi bisnis yang bisa dibuat dengan layanan 5G. Saya berharap operator tak terlalu konservatif dalam mengimplementasikan 5G. Rugi jika operator konservatif dalam mengembangkan 5G,” kata Sigit, Minggu (20/6).
Meski begitu, Sigit tak memungkiri bahwa operator masih dihadapi banyak kendala untuk mengembangkan 5G di Indonesia. Terutama dalam hal ketersediaan spektrum frekuensi yang sangat terbatas. Padahal, kata dia, untuk mendapat layanan 5G yang ideal, operator telekomunikasi membutuhkan lebar pita frekuensi 80-100 MHz contigous atau millimeter waves (mmWave) yang lebar frekuensinya bisa ratusan MHz.
Untuk diketahui, Telkomsel menyelenggarakan layanan 5G di frekuensi 2.300 MHz dengan lebar pita 30 MHz. Sementara Indosat di frekuensi 1.800 MHz dengan lebar pita 20 MHz.
“Frekuensi yang ada saat ini jauh dari optimal. Kini operator yang menyelenggarakan 5G hanya sekadar memberikan layanan agar masyarakat dapat mencicipi 5G, bukan 5G yang sebenarnya. Operator baru optimal dapat menyelenggarakan 5G jika sudah memiliki frekuensi minimal 80 MHz contigous, bukan terpencar-pencar. 5G akan semakin terasa ketika operator sudah mendapatkan frekuensi millimeter waves,” tutur Sigit.
Berangkat dari hal itu, ia berharap pemerintah bisa segera menyiapkan frekuensi millimeter waves tersebut untuk layanan 5G di Indonesia. Selain itu, ia juga berharap pemerintah bisa menyiapkan frekuensi di mid band dan lower band di frekuensi 2.600 MHz dan 700 MHz untuk 5G.
“Jika pemerintah ingin operator telekomunikasi bisa memberi layanan 5G yang optimal seharusnya frekuensi 2.600 MHz bisa segera dibebaskan. Tugas pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo untuk menyiapkan frekuensi, sehingga bisa dimanfaatkan operator selular eksisting untuk menyelenggarakan 5G,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia berharap 5G akan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional. Menurutnya, dalam penyelenggaraan telekomunikasi ada kepentingan nasional yang dicapai. Di lain sisi, ia meminta pemerintah mencari rumusan yang ideal agar harga lelang frekuensi 5G tak terlalu mahal. Ia menilai opsi lain selain lelang bisa dipertimbangkan pemerintah. Pasalnya, jika harga layanan 5G mahal, masyarakat akan kesulitan mengakses layanan 5G.
“Saya berharap pemerintah tak hanya melihat lelang frekuensi sebagai opsi untuk mengalokasikan frekuensi. Ada metode lain seperti beauty contest untuk operator selular eksisting. Saya termasuk yang tak sependapat jika pengalokasian frekuensi harus selalu dengan lelang, karena frekuensi juga untuk kemaslahatan masyarakat,” tandasnya.
(LH)