Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Utang Pemerintah merupakan tema diskusi yang sering mengemuka di ruang publik. Sebenarnya ada soalan utang yang juga perlu memperoleh perhatian, yaitu Utang Sektor Publik (USP). USP mencakup utang pemerintah, utang Bank Indonesia dan utang BUMN. Datanya dihitung dan dipublikasi oleh Bank Indonesia untuk kondisi tiap akhir triwulan. Posisinya pada akhir September 2020 mencapai Rp11.774 triliun. Rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB) telah di kisaran 74,62%
USP secara nominal selalu meningkat tiap tahun, dengan laju kenaikan berfluktuasi. Kenaikan amat besar terjadi pada tahun 2014, yang selain karena tambahan utang disebabkan pula oleh adanya perubahan definisi dalam data. Kenaikan pada tahun-tahun selanjutnya memang karena tambahan utang.
Dilihat dari rasio USP atas PDB, terjadi penurunan pada tahun 2007-2012. Hal itu dikarenakan laju kenaikan PDB yang lebih cepat dari USP. Rasionya hanya sedikit meningkat pada tahun 2013. Naik signifikan pada tahun 2014, antara lain karena kenaikan nominal seperti yang disebut di atas. Rasio utang terus meningkat hingga tahun 2018. Rasio sempat sedikit menurun pada tahun 2019.
USP secara nominal hingga triwulan ketiga tahun 2020 telah meningkat sangat signifikan dari posisi akhir tahun 2019. Terutama sekali karena utang pemerintah pusat yang bertambah sangat banyak, antara lain karena kebijakan fiskal dalam rangka mitigasi dampak pandemi. Pada saat bersamaan, utang BUMN masih tetap meningkat.
Rasio USP atas PDB pada tahun 2020 menjadi naik lebih signifikan karena PDB nominal justeru tidak bertambah. Bahkan dari realisasi hingga triwulan ketiga, kemungkinan besar PDB nominal atau PDB atas dasar harga berlaku tahun 2020 akan lebih rendah dari tahun 2019.
Realisasi selama tiga triwulan tahun 2020, PDB nominal sebesar Rp 11.505 triliun. Lebih rendah dari tahun 2019 yang sebesar Rp11.629 triliun. Khusus triwulan-IV 2019 sebesar Rp4.019 triliun. Jika diasumsikan terjadi pemulihan ekonomi pada triwulan IV-2020, sehingga PDB bisa mencapai Rp4.220, maka PDB menjadi Rp15.725. Ada risiko akan sedikit lebih rendah dari itu, jika pemulihan tak sesuai yang diharapkan.
Nominal USP diprakirakan masih akan meningkat pada triwulan IV-2020, karena adanya kenaikan utang pemerintah melalui penerbitan SBN yang masih signifikan. Namun ada kompensasi atau pengurangan posisi dari faktor menguatnya rupiah pada akhir tahun dibanding akhir September, karena sebagian utang berupa valas. Secara keseluruhan, diprakirakan posisi USP pada akhir tahun 2020 hanya sedikit naik dari posisi akhir September, menjadi sekitar Rp11.850 triliun.
Dengan demikian, rasio utang sektor publik atas PDB akan menjadi sekitar 75,36%. Posisi utang sebesar Rp11.850 triliun atas PDB sebesar Rp15.725. Dikatakan sekitar, karena masih ada potensi naik turun sedikit pada kedua besaran tersebut.
Secara teknis, Bank Indonesia mengkategorikan data statistik USP ke dalam tiga kelompok. Yaitu: Pemerintah umum, korporasi finansial sektor publik, dan korporasi nonfinansial sektor publik. Pemerintah umum terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Korporasi finansial antara lain mencakup bank sentral, bank BUMN, BPD, dan Lembaga keuangan bukan bank. Sedangkan korporasi nonfinansial terutama terdiri dari BUMN yang bukan Lembaga keuangan.
Baca juga: SBN Akan terus Diborong Bank Indonesia?
Posisi USP per akhir September 2020 sebesar Rp11.774 triliun antara lain dirinci berdasar kategori itu. Utang Pemerintah Umum sebesar Rp5.807 triliun, terdiri dari pemerintah pusat sebesar Rp5.758 triliun dan pemerintah daerah sebesar Rp49 triliun. Korporasi finansial sektor publik sebesar Rp4.826 triliun, dan korporasi nonfinansial sebesar Rp1.141 triliun.
Utang BUMN memang diperlakukan sebagai utang swasta, karena kepemilikan negara atasnya merupakan kekayaan yang telah dipisahkan. Namun, dalam aturan lain diperlakukan sebagai bagian dari keuangan negara. BPK pun berhak melakukan pemeriksaan atasnya, dan DPR bisa meminta keterangan kepada manajemennya. Selain itu, sebagai bagian dari pengelolaan keuangan negara yang baik, catatan utangnya disajikan sebagai bagian dari utang sektor publik tadi.
Ketika banyak kritik atas utang BUMN yang tampak melonjak, otoritas sempat menjelaskan salah satu sebabnya adalah memasukan data simpanan masyarakat (DPK). DPK bank-bank BUMN dikatakan meningkat sehingga mempengaruhi total utang BUMN.
Akan tetapi, memang terjadi peningkatan pesat pada BUMN yang tergolong nonkeuangan. Posisi utang BUMN yang bukan Lembaga Keuangan akhir tahun 2019 mencapai Rp1.004 triliun. Hampir dua kali lipat dari posisi akhir tahun 2014 yang sebesar Rp504 triliun. Pada periode tahun 2014-2019, kenaikan utang yang bukan DPK meningkat lebih pesat dari pertumbuhan DPK.
Perlakuan DPK sebagai utang mestinya juga sudah dikaji terlebih dahulu oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Dalam pencatatan atau akuntansi pada industri perbankan sejak awal perlakuannya memang demikian. Secara analisis, DPK pun biasa diperlakukan sebagai salah satu faktor risiko. Selalu ada risiko DPK berubah menjadi beban ketika terjadi penarikan secara cukup besar. Risikonya pun cenderung meningkat dalam kondisi perekonomian yang mengalami resesi dengan skala yang cukup dalam.
Bank Indonesia juga memberi informasi bahwa posisi USP terdiri dari yang berdenominasi rupiah sebesar Rp8.107 triliun. Sedangkan yang berdenominasi valuta asing, dihitung dalam kurs tengah BI pada akhir September, sebesar Rp3.667 triliun. Dengan kata lain, USP dalam valas telah mencapai 31% dari totalnya. Sebagian besar dalam dolar Amerika.
Tidak semua utang dalam rupiah adalah kepada penduduk (residen) Indonesia. Seperti SBN rupiah yang dimiliki oleh pihak asing. Dan sebaliknya, utang valas kepada pihak domestik. Dalam hal kreditur ini, porsi kepada pihak asing mencapai 33% dari total utang.
Khusus utang korporasi publik yang nonfinansial, porsi utangnya dalam valas lebih besar dari kelompok lainnya. Lebih dari 66% dari utangnya berdenominasi valas. Bisa dikatakan bahwa utang BUMN non lembaga keuangan memang lebih banyak dalam valuta asing. Sebagian utang valas ini terhadap pihak domestik. Porsi utang kepada pihak asing hanya sebesar 60%.
Risiko utang kelompok sektor ini juga perlu diwaspadai terkait waktu jatuh temponya. Utang yang harus dilunasi kurang dari setahun ke depan, dilihat dari akhir November 2020, mencapai 20% dari total utangnya.
Jika dikaitkan antara porsi dalam valas dan waktu jatuh tempo, maka permintaan valuta asing setahun ke depan antara lain dikontibusi oleh soalan ini. Pada sisi lain, keuangan beberapa korporasi akan memperoleh tantangan cukup berat karena masih dalam suasana pemulihan ekonomi. Terutama bagi BUMN yang tidak memperoleh pendapatan dalam valas, dan telah cukup terdampak buruk selama era pandemi.
Secara keseluruhan, utang sektor publik memang mengalami kondisi yang butuh pengelolaan secara lebih berhati-hati. Perlu diingat bahwa pertumbuhan utang sektor publik yang terlampau cepat akan “mempersulit” sektor korporasi swasta dan UMKM dalam hal pembiayaan baru. Tidak hanya pada ketersediaan dana untuk dipinjam, melainkan juga bunga atau biayanya yang akan sulit turun secara signifikan. Padahal, penurunan bunga sangat diperlukan bagi proses pemulihan ekonomi.
Pihak otoritas memang telah mengupayakan pelonggaran likuiditas dan penurunan bunga, namun kondisinya pun telah cukup sulit. Pemerintah, Bank Indonesia, dan OJK dituntut untuk berkoordinasi lebih kuat dan membuat kebijakan yang lebih antisipatif atas kondisi ini. Dan yang tak kalah penting, pihak BUMN pun harus lebih prudent dan bertanggung jawab dalam mengelola keuangannya.
Penulis berpandangan, soalan utang sektor publik ini seharusnya menjadi wacana publik. Masyarakat perlu mengetahuinya secara lebih baik, dan pandangan para ahli di luar otoritas pun perlu diperhatikan.
*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri