Channel9.id – Jakarta. Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) menyoroti dampak dari adanya reklamasi Pulau Serangan, Denpasar Selatan, Bali terhadap kondisi sosial dan ekonomi nelayan sekitarnya. Pasalnya, mega proyek seluas 491 hektar itu dinilai merugikan bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
Para nelayan mengeluhkan sulitnya mencari ikan setelah reklamasi ini mulai dikerjakan pada tahun 1990-an. Pengerukan yang terjadi membuat ikan di perairan tenggara Pulau Bali itu sulit untuk dicari. Selain itu juga merusak ekosistem terumbu karang, rumput laut, bakau, dan mangrove.
Koordinator Nasional Ekomarin, Martin Hadiwinata menjelaskan bahwa pola arus laut semestinya bergerak ke arah kiri. Namun karena adanya reklamasi, pola arus laut itu berubah. Perubahan pola arus laut ini, kata Martin, berdampak kepada ekosistem laut yang pada akhirnya juga berimbas pada sosial-ekonomi nelayan.
“Reklamasi itu kan mengubah pola arus yang harusnya terjadi arus yang berputar ke kiri, karena adanya reklamasi, berubah pola arusnya,” kata Martin saat dihubungi Channel9.id, Rabu (21/6/2023).
Ia menerangkan, reklamasi Pulau Serangan membuat pola arus laut berubah dan menyebabkan terjadinya penumpukan sedimen di pulau tersebut. Penumpukan sedimen ini pun membuat kehidupan ikan di sana hilang. Akibatnya, lanjut Martin, para nelayan terpaksa melaut lebih jauh untuk mencari ikan.
“Selat antara Pulau Serangan dan Pulau Bali itu bisa terjadi penumpukan sedimen di situ. Pada akhirnya berdampak juga kepada oksigen yang terlarut dalam perairannya. Ini hal yang sangat teknis, tapi secara sosial dan ekonomi berdampak pada ikan yang akan berkurang di wilayah itu. Akhirnya membuat ikannya berkurang, mereka harus melaut lebih jauh, dan lain-lain,” tutur Martin.
Selain penumpukan sedimen, Martin mengatakan perubahan pola arus laut juga mengakibatkan tergerusnya bibir pantai di wilayah lain. Sehingga, kata Martin, terjadi abrasi pantai yang lebih hebat dari sebelum adanya reklamasi.
Martin mencontohkan dengan proyek reklamasi yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah yang kemudian berdampak pada wilayah pesisir Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Ia menjelaskan, reklamasi yang terjadi di Semarang membuat permukaan tanah di pesisir Tambakrejo turun drastis.
“Sebagai contoh reklamasi di Semarang yang akhirnya di beberapa tempat abrasi pantainya sangat hebat dan menyebabkan kota-kota di bawah perairan, maksudnya penurunan permukaan tanahnya semakin cepat, daratannya tenggelam,” ujarnya.
“Tambakrejo itu termasuk korbannya. Jadi karena reklamasi, kalau gak salah, (reklamasi) bandara dan kawasan bisnis, akhirnya membuat pola arus berubah dan wilayah yang lain terabrasi, terkikis oleh pola arus yang berubah,” imbuh Martin.
Lebih lanjut, Martin mengatakan, pemerintah perusahaan, serta pihak terkait, seharusnya melakukan pendalaman analisis terlebih dahulu untuk melihat sejauh mana kerugian yang dapat muncul akibat reklamasi. Terlebih lagi perhitungan kerugian terhadap nelayan.
“Untuk penghitungannya, memang perlu pendalaman lebih lanjut, analisis daripada melakukan reklamasi, kerugiannya seperti apa,” tuturnya.
Perubahan pola arus laut yang membuat nelayan harus melaut lebih jauh, nampaknya sudah dirasakan langsung oleh Ketua Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Napas Tanjung Benoa, Abdul Latif. Kepada Channel9.id, Abdul mengungkapkan kesedihannya saat melihat sumber pencahariannya sehari-hari dihancurkan oleh reklamasi Pulau Serangan pada tahun 1990-an.
“Saya sendiri sebenarnya sudah trauma, sudah punya pengalaman, sudah 40 tahun saya jadi nelayan, tau saya peristiwa pengerukan Pulau Serangan. Tidak ada komplain dari siapa-siapa. Kita cuma bisa nangis aja. Rumah ikan diuruk. Seluas itu (Pulau Serangan) kan rumah ikan, rumput laut sampai ke timur,” ungkap Abdul saat ditemui di Kampung Bugis, Tanjung Benoa, Bali, Minggu (11/6/2023).
Pasalnya, reklamasi Pulau Serangan itu menyisakan tangis bagi para nelayan-nelayan tradisional sekitar, nelayan kecil, nelayan penyelam, dan pencari ikan ketika air surut. Abdul mengatakan, salah satu mata pencaharian nelayan yang hilang hingga kini yaitu kerang batu-batu.
“Batu-batu yang sekarang banyak orang jual ini yang palsu, karena itu sudah dikeruk, sudah jarang didapat, yang aslinya sudah sulit didapat. Maksudnya yang agak ke darat, yang di bakau dia. Karena sudah ada reklamasi langka nyarinya, jadi mahal. Dulu yang aslinya itu yang di pasir itu, rumput laut. Rasanya memang enak itu, manis dia. Habis, susah nyarinya,” ungkap Abdul.
Sebagai informasi, Pulau Serangan yang terletak di sebelah tenggara Bali ini merupakan proyek reklamasi pertama di Pulau Dewata. Reklamasi Pulau Serangan itu mulai dikerjakan tahun 1990-an.
Fungsinya tak lain untuk dijadikan obyek wisata. Seiring berjalannya waktu, pada 1995, perusahaan besar mulai masuk. Kini, Pulau Serangan dimiliki oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID).
Luas Pulau Serangan sebelum direklamasi hanya 101 hektare. Setelah direklamasi, luasnya menjadi 491 hektar. Meski diperluas, masyarakat tetap hanya menempati 101 hektar, sementara 491 hektare luas pulau itu dikuasai PT BTID.
Oleh karena itu, masyarakat pun hanya dijadikan penonton dan tak banyak memberikan dampak positif. Bahkan, dirasakan malah merugikan masyarakat, karena terkesan sangat ekslusif tanpa boleh disentuh masyarakat.
Baca juga: Menengok Kembali Reklamasi Pulau Serangan, Menyisakan Tangis Nelayan
HT