Hot Topic Hukum

RJ Lino Ditahan KPK, Kerugian Negara Ditaksir Rp 329 Miliar

Channel9.id-Jakarta. Setelah lima tahun lebih menjadi tersangka dalam kasus korupsi terkait pengadaan tiga unit quay container crane (QCC), Richard Joost Lino atau RJ Lino akhirnya resmi ditahan KPK.

Setelah RJ Lino ditahan, KPK memperoleh data dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut. KPK menduga akibat perbuatan RJ Lino, keuangan negara yang telah dirugikan adalah USD 22.828,94 atau sekitar Rp 328.814.512 dalam pemeliharaan 3 unit QCC.

Diketahui, RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan tiga unit QCC sejak Desember 2015. Kasus dugaan korupsi ini diduga merugikan negara Rp50,03 miliar berdasarkan laporan audit investigatif BPKP tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 pada 18 Maret 2011.

“Bahwa selain itu akibat perbuatan tersangka RJ Lino ini, KPK juga telah memperoleh data dugaan kerugian keuangan dalam pemeliharaan 3 unit QCC tersebut sebesar USD 22.828,94,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (26/3).

Di balik langkah maju tersebut, KPK malah menyampaikan kabar mengejutkan soal alasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menghitung total dugaan kerugian keuangan negara atas perbuatan RJ Lino tersebut.

Sedangkan untuk pembangunan dan pengiriman barang 3 unit QCC tersebut BPK tidak menghitung nilai kerugian negara yang pasti karena bukti pengeluaran riil HDHM atas pembangunan dan pengiriman 3 unit QCC tidak diperoleh, sebagaimana surat BPK tertanggal 20 Oktober 2020 perihal surat penyampaian laporan hasil pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengadaan Quayside Container Crane (QCC) Tahun 2010 pada PT Pelabuhan Indonesia II.

Alex membeberkan kontruksi perkara kasus RJ Lino. Dia menjelaskan pada tahun 2009, PT Pelindo II (Persero) melakukan pelelangan pengadaan 3 unit QCC dengan spesifikasi Single Lift untuk Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak yang dinyatakan gagal sehingga dilakukan penunjukan langsung kepada PT BI (Barata Indonesia).

“Namun penunjukan langsung tersebut juga batal karena tidak adanya kesepakatan harga dan spesifikasi barang tetap mengacu kepada standar Eropa,” kata Alex dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (26/3/2021).

Pada 18 Januari 2010, RJ Lino selaku Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) diduga melalui disposisi surat memerintahkan Ferialdy Noerlan selaku Direktur Operasi dan Teknik melakukan pemilihan langsung dengan mengundang 3 perusahaan, yakni ZPMC (Shanghai Zhenhua Heavy Industries Co. Ltd) dari China, Wuxi, HDHM (HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd) dari China, dan Doosan dari Korea Selatan.

Februari 2010, RJ Lino diduga kembali memerintahkan untuk dilakukan perubahan Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II (Persero) tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelindo II (Persero), dengan mencabut ketentuan Penggunaan Komponen Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri. Perubahan dimaksudkan agar bisa mengundang langsung ke pabrikan di luar negeri.

“Adapun Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II (Persero) tersebut menggunakan tanggal mundur (back date) sehingga HDHM dinyatakan sebagai pemenang pekerjaan,” ucapnya.

Baca juga: KPK Panggil Petinggi Pelindo II Jadi Saksi RJ Lino 

Penunjukan langsung HDHM diduga dilakukan oleh RJ Lino dengan menuliskan disposisi `Go for Twinlift` pada kajian yang disusun oleh Direktur Operasi dan Teknik. Padahal pelaporan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM ditemukan bahwa produk HDHM dan produk ZPMC tidak lulus evaluasi teknis karena barangnya merupakan standar China dan belum pernah melakukan ekspor QCC ke luar China.

Maret 2010, RJL diduga memerintahkan Direktur Operasi dan Teknik melakukan evaluasi teknis atas QCC Twin Lift HDHM dan memberi disposisi kepada Saptono R Irianto selaku Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha juga untuk melakukan kajian operasional dengan kesimpulan QCC twin lift tidak ideal untuk Pelabuhan Palembang dan Pelabuhan Pontianak.

“Untuk pembayaran uang muka dari PT Pelindo II pada pihak HDHM, RJL (RJ Lino) diduga menandatangani dokumen pembayaran tanpa tanda tangan persetujuan dari Direktur Keuangan dengan jumlah uang muka yang di bayarkan mencapai USD 24 juta yang dicairkan secara bertahap,” ujar Alex.

Alex menyebut penandatanganan kontrak antara PT Pelindo II dan HDHM dilakukan saat proses pelelangan masih berlangsung dan begitupun setelah kontrak ditandatangani masih dilakukan negosiasi penurunan spesifikasi dan harga, agar tidak melebihi nilai owner estimate (OE). Untuk pengiriman tiga unit QCC ke Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak dilakukan tanpa commission test yang lengkap di mana commission test tersebut menjadi syarat wajib sebelum dilakukannya serah-terima barang.

“Harga kontrak seluruhnya USD 15.554.000 terdiri atas USD 5.344.000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Panjang, USD 4.920.000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Palembang dan USD 5.290.000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Pontianak,” katanya.

Menurut Alex, KPK telah memperoleh data dari ahli ITB bahwa harga pokok produksi (HPP) tersebut hanya sebesar USD 2.996.123 untuk QCC Palembang, USD 3.356.742 untuk QCC Panjang, dan USD 3.314.520 untuk QCC Pontianak.

IG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7  +  2  =