Nasional

Sidang Doktoral Raisye Haghia di UI, Bahas Perlawanan AJI terhadap Represi Pers Orde Baru

Channel9.id – Depok. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dinilai memiliki peran penting dalam memperjuangkan kebebasan pers di tengah represi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Organisasi ini muncul sebagai kekuatan transformatif yang membangun jurnalisme independen pada periode 1994–1999.

Penilaian tersebut disampaikan Raisye Soleh Haghia dalam sidang promosi doktor Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI), Selasa (10/6/2025). Dalam sidang tersebut, Raisye dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Disertasi yang ia pertahankan berjudul “Meretas Jalan Kebebasan: Peran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Mewujudkan Jurnalisme Independen di Indonesia 1994–1999.” Raisye dibimbing oleh Dr. Linda Sunarti sebagai promotor dan Prof. Dr. Susanto Zuhdi sebagai kopromotor.

Dalam disertasinya, Raisye menjelaskan bahwa kelahiran AJI harus dilihat dalam konteks struktural Orde Baru yang sangat represif terhadap ruang publik. Pemerintah kala itu menggunakan berbagai cara untuk mengendalikan kebebasan berekspresi, termasuk melalui lembaga pers.

“Ini termasuk pembatasan kebebasan berekspresi, kooptasi terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta sistem perizinan SIUPP yang menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis,” kata Raisye.

Kondisi ini, menurut Raisye, justru memunculkan resistensi terorganisir dari kalangan jurnalis yang menolak tunduk pada kontrol negara. Perlawanan ini tidak hanya melawan struktur dominan, tetapi juga membangun sistem jurnalistik yang independen.

“Namun, kondisi represif ini justru melahirkan resistensi terorganisir yang tidak hanya berhasil menantang struktur dominan, tetapi juga secara aktif membangun sistem alternatif dalam praktik jurnalistik,” kata Raisye.

Raisye memaparkan bahwa kemunculan AJI tidak lepas dari kombinasi antara faktor eksternal dan internal. Ia menyebut bahwa situasi global dan dinamika domestik turut menjadi pemicu lahirnya gerakan ini.

“Pada tataran global, transformasi pasca Perang Dingin menciptakan disrupsi geopolitik sekaligus membuka ruang bagi penetrasi nilai-nilai demokrasi melalui kemajuan teknologi,” ucapnya.
“Akselerasi arus informasi dan tekanan normatif internasional menjadi katalisator penting bagi tumbuhnya kesadaran kritis di kalangan jurnalis Indonesia,” lanjutnya.

Sementara dari sisi domestik, Raisye mencatat adanya kemunculan kelas menengah terdidik dari kalangan jurnalis muda dan eks aktivis kampus. Mereka menjadi basis sosial yang kuat dalam gerakan pembaruan pers.

“Para pendiri AJI memanfaatkan jaringan intelektual dan pengalaman aktivisme mereka untuk membangun pers alternatif sebagai alat perlawanan,” ucap Raisye.

Strategi perlawanan AJI berkembang dari aksi simbolik menuju gerakan yang sistematis dan terorganisir. Gerakan ini mengombinasikan berbagai pendekatan dalam upaya memperluas ruang kebebasan pers.

“Gerakan ini mengombinasikan empat pilar utama. Yaitu: (1) pembangunan aliansi strategis dengan elemen masyarakat sipil; (2) pemanfaatan jalur hukum sebagai arena perjuangan ideologis; (3) perluasan jaringan internasional melalui organisasi seperti IFJ; serta (4) pengembangan pendidikan jurnalistik alternatif dan media alternatif seperti majalah Suara Independen,” jelas Raisye.

Dampak perjuangan AJI menurut Raisye bersifat struktural dan berjangka panjang. Dalam jangka pendek, mereka berhasil memperkuat eksistensi pers alternatif dan menekan kekuasaan yang represif.

“Dalam jangka pendek, gerakan ini berhasil mempertahankan eksistensi pers alternatif di tengah represi negara, meningkatkan kesadaran publik tentang kebebasan pers, serta menciptakan tekanan politik terhadap pemerintahan Orde Baru,” katanya.

Sementara dalam jangka panjang, AJI turut berperan dalam pembentukan sistem pers yang lebih demokratis. Salah satu kontribusinya adalah dalam proses lahirnya Undang-Undang Pers tahun 1999.

“Sementara dalam jangka panjang, kontribusi AJI terwujud melalui tiga transformasi mendasar yaitu keterlibatan AJI dalam perumusan UU Pers No. 40/1999, normalisasi nilai-nilai jurnalisme independen, dan penciptaan paradigma baru organisasi pers sebagai aktor strategis demokratisasi,” ujar Raisye.

Penelitian ini juga memberikan kontribusi pada pengembangan teori gerakan sosial dan sejarah pers di Indonesia. Raisye menggunakan pendekatan history from below untuk menempatkan jurnalis sebagai aktor sejarah yang penting.

“Pertama, pengayaan perspektif historiografi pers Indonesia melalui pendekatan history from below yang menempatkan aktor non-Elit sebagai subjek sejarah,” jelas Raisye.
“Kedua, pengembangan model analisis gerakan sosial sebagai kerangka teoritis baru dalam kajian sejarah pers,” tambahnya.

Penelitian ini juga menegaskan pentingnya pendekatan multidisipliner untuk memahami kompleksitas gerakan seperti AJI. Raisye menyoroti peran kapital sosial budaya dalam mengatasi hambatan internal.

“Temuan penelitian ini sekaligus mengembangkan teori aksi kolektif Charles Tilly dengan mengidentifikasi varian spesifik gerakan profesional, termasuk peran kapital sosial budaya dalam mengatasi masalah free-rider dan bentuk-bentuk perlawanan hybrid yang khas gerakan sosial,” lanjut Raisye.

Ia menekankan bahwa temuan dalam disertasi ini masih relevan di masa kini. Strategi AJI dinilai dapat menjadi rujukan bagi jurnalis dan aktivis dalam menghadapi tekanan baru di era digital.

“Bagi praktisi pers, pengalaman AJI menawarkan perjalanan berharga tentang ketahanan redaksional menghadapi tekanan negara,” tutur Raisye.
“Bagi aktivis demokrasi, gerakan ini memberikan blueprint tentang efektivitas strategi yang mengombinasikan resistensi langsung dengan pembangunan kapasitas jangka panjang,” sambungnya.

Raisye mengusulkan agar studi lanjutan mengkaji transformasi gerakan pers pasca-Reformasi. Ia juga menilai pentingnya menjajaki jejak intelektual AJI di arsip internasional.

“Penelitian ini membuka beberapa agenda penting untuk studi lanjutan, termasuk kajian transformasi gerakan pers di era digital, analisis komparatif dengan pengalaman negara transisional lain, eksplorasi jaringan intelektual AJI melalui arsip internasional, serta penelitian tentang transmisi nilai-nilai AJI kepada generasi jurnalis pasca Reformasi,” ujarnya.

Ia menutup dengan menegaskan bahwa perjuangan AJI membuktikan jurnalisme independen tetap mungkin tumbuh dalam sistem represif. Bahkan, jurnalisme tersebut dapat mendorong perubahan sosial yang signifikan.

“Pada akhirnya, warisan terpenting AJI terletak pada pembuktian bahwa jurnalisme independen bukan hanya mungkin diwujudkan dalam sistem yang represif, tetapi juga dapat menjadi pendorong perubahan sosial yang signifikan dalam proses demokratisasi Indonesia,” tegas Raisye.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

22  +    =  31