Channel9.id-Jakarta. Di tengah pandemi virus Corona, istilah herd immunity menjadi populer. Herd immunity atau kekebalan kelompok disebut sebagai bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular.
Kondisi ini akan terjadi bila sebagian besar populasi kebal terhadap infeksi. Kebal terhadap infeksi bisa didapat melalui vaksinasi atau pernah terpapar infeksi. Nantinya, mereka bisa memberi perlindungan bagi individu yang tidak kebal.
Herd immunity terhadap virus Corona bisa terjadi jika sudah ada banyak orang yang terinfeksi SARS-CoV-2, dikutip dari MIT Technology Review. Itu berarti virus dibiarkan menyebar agar banyak orang terinfeksi. Jika yang terinfeksi bisa bertahan hidup, maka ia akan kebal. Selanjutnya wabah akan hilang dengan sendirinya. Dengan begitu, ketika banyak orang yang kebal, virus akan semakin sulit menemukan inang yang rentan. Sehingga penyebaran akan berhenti secara alami.
Kekebalan pada seseorang muncul saat terinfeksi virus, lalu sembuh ketika sistem kekebalan tubuh berhasil melawan virus tersebut. Orang tersebut akan kebal terhadap virus karena sistem imun mereka sudah memiliki antibodi untuk melawan virus.
Para ahli memperkirakan, untuk bisa mencapai herd immunity, dibutuhkan lebih dari 50% populasi yang terinfeksi. “Mirip dengan pandemi flu di 1918. Itu menyiratkan bahwa akhir dari epidemi ini akan membutuhkan hampir 50% populasi yang kebal, baik dari vaksin atau dari infeksi alami,” ujar Ahli epidemiologi Harvard University Marc Lipsitch.
Virus corona diperkirakan mampu menularkan pada 2-2,5 orang, sehingga berdasarkan perhitungan matematis dibutuhkan 60-70% orang yang terinfeksi untuk mencapai Herd Immunity. Saat ini lebih dari 100 ribu orang di dunia dinyatakan sembuh dari virus corona. Kemungkinan besar mereka akan kebal dari virus , namun bisa juga tidak kebal karena virus bersifat dinamis dan dapat terus berubah.
“Saya tidak sepenuhnya terkejut, jika orang tidak menjadi kebal,” kata ahli penyakit menular di University of Maryland, Myron Levine.
Sementara ahli molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo sempat menyinggung soal herd immunity dalam diskusi daring “Meliput Covid-19” yang digelar minggu lalu. Terkait penanganan virus corona ini, ia mengatakan lebih memilih pendekatan aggressive testing jika dibandingkan dengan herd immunity.
“Pendekatan [herd immunity] ini betul-betul radikal. Apa landasan berpikirnya, ini terkait sudah kelabakannya fasilitas kesehatan, seperti di Itali. Jadi, sekarang Eropa memikirkan, sudah biarkan saja yang tidak punya harapan hidup itu mati. Artinya apa, orang itu memang tidak punya imunitas yang cukup, sehingga daripada membebani dia mending mati saja sehingga menyisakan orang-orang yang survive–ini sudah terseleksi secara alami. Ini radikal sekali,” jelas dia.
Sedangkan pendekatan aggressive testing atau pengetesan massal secara agresif dianggap lebih manusiawi dan menghasilkan rencana penanganan yang lebih matang. Dengan konsep ini, akan dilakukan pengetesan sebanyak mungkin. Kemudian mengelompokkan siapa saja yang positif terjangkit, lalu ditangani. “Saya sih cenderung ke aggressive testing, karena kita tahu, sains tidak berdiri sendiri. Karena sebagai bangsa, kita punya value,” tutur Ahmad. Namun, membutuhkan banyak biaya.
“Kalau herd immunity itu kan kesannya memang tidak ada planning di awal. Dan kesannya juga, ada ekonominya. Karena kan kalau di Eropa, setiap pasien masuk ICU itu kan harus dibayar oleh negara dan negara merasa kewalahan, sudah kemahalan. Yasudah biarkan saja mati,” lanjut Ahmad.
Meski demikian, ia mengakui bahwa kedua pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan.
(LH)