Channel9.id – Jakarta. Masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) tengah menghadapi ancaman relokasi dalam proses pengembangan Rempang Eco City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama PT Makmur Elok Graha (MEG). Atas dasar itu, masyarakat yang tergabung dalam Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Pulau Rempang dan Pulau Galang menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan untuk menghentikan segala pembangunan di Pulau Rempang yang tidak menghormati hak atas tanah masyarakat.
Hal itu disampaikan kuasa hukum Kerabat, Alfons Loemau dalam konferensi pers “Pengusiran dan Intimidasi 6.840 Warga Pulau Rempang oleh BP Batam dan PT Makmur Elok Graha” di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (22/8/2023). Tuntutan tersebut juga tercantum dalam Surat Permohonan Perlindungan Hukum kepada Jokowi yang dilayangkan warga Pulau Rempang melalui surat Nomor 205/PPH/74/VIII/2023 tertanggal 22 Agustus 2023.
“Hentikan segala kegiatan proses peralihan hak dan pembangunan apapun di atas Pulau Rempang sebagai bagian dari prinsip penghormatan kepada hukum dan penghormatan terhadap hak-hak atas tanah dalam setiap kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,” ujar Alfons.
Untuk diketahui, konflik di Pulau Rempang ini bermula ketika Menteri Agraria/Kepala Badan Petanahan Nasional (BPN) melalui Surat Keputusan Nomor 9-VIII-1993 memberikan hak kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (kini bernama BP Batam) untuk mengelola seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau lain di sekitarnya dengan beberapa syarat.
Namun, BP Batam rupanya tidak memenuhi syarat yang sudah ditetapkan Menteri Agraria untuk mengelola lokasi tersebut. Salah satu syaratnya berbunyi “apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Penerima Hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah.” Hingga saat ini, syarat tersebut belum dipenuhi BP Batam.
Ketua Keramat, Gerisman Ahmad menyampaikan bahwa masyarakat Pulau Rempang seyogyanya terbuka dengan pengembangan Rempang Eco City. Tetapi, kata Gerisman, masyarakat menolak direlokasi akibat pembangunan ini karena harus meninggalkan tanah kelahiran yang telah diwariskan secara turun-temurun.
“Dari awal kami sudah menyatakan sikap bahwa kami tidak menolak investasi, kami siap menerima kedatangan PT MEG dalam hal membangun Pulau Rempang menjadi Rembang Eco City. Hanya kami minta kami tidak relokasi dan hak-hak kami terpenuhi secara adil,” kata Gerisman dalam kesempatan yang sama.
Ia mengatakan, masyarakat Pulau Rempang meminta perlindungan hukum kepada Presiden Jokowi dengan harapan suara-suara mereka dapat didengarkan. Sebab, kata Gerisman, masyarakat mengalami intimidasi dan kriminalisasi di saat belum adanya sosialisasi dari BP Batam atau pemerintah setempat terkait relokasi.
“Bapak Jokowi yang memang menjadi kebanggaan kami, kami harap ada campur tangan beliau dalam mengantisipasi ini. Karena yang kami takutkan terjadi keributan dan kerusuhan di Rempang,” Harap Gerisman.
Ia pun menegaskan masyarakat Pulau Rempang terbuka untuk berdialog bersama pemerintah dan pengembang. Terlebih, lanjutnya, masyarakat pada prinsipnya menerima pengembangan Rembang Eco City tersebut.
“Saya berharap ke depannya harus ada pertemuan tiga sisi, pemerintah, pengembang, masyarakat. Mari kita duduk bersama. Jika ini tidak dilakukan saya yakin persoalan ini tidak akan selesai,” tuturnya.
Selain menuntut dihentikannya proses pembangunan yang mencederai hak-hak atas tanah, masyarakat juga menuntut Presiden Jokowi untuk membentuk tim mediator guna memediasi penyelesaian secara musyawarah antara warga Pulau Rempang dengan BP Batam. Tim Mediasi juga bisa dibentuk melalui Pengadilan Negeri Batam jika proses hukum berupa gugatan ditempuh oleh Masyarakat warga Pulau Rempang.
“Ketiga, hentikan proses kriminalisasi yang saat ini sedang berlangsung yang dilakukan oleh Polda Kepri, dengan menggunakan cara-cara yang bersifat mengintimidasi warga yang menuntut hak dengan tuduhan merusak terumbu karang dan lain-lain,” kata Alfons Loemau.
Terakhir, masyarakat mendesak Jokowi segera menjadwalkan sebuah musyawarah yang dimediasi Menko Polhukam atau Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN atau Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Musyawarah ini diharapkan dapat membuahkan hasil yang memuaskan bagi masyarakat Pulau Rempang.
“(Musyawarah) Agar Pembangunan Proyek Strategis Nasional di Pulau Rempang tidak terhalang oleh ulah oknum BP Batam yang hanya mementingkan kepentingan bisnis dan mengabaikan hak-hak warga yang di dalamnya melekat hak-hak tradisional yang wajib dilindungi, sesuai perlindungan undang-undang,” pungkas Alfons.
HT