Oleh: Husin Munir*
Channel9.id-Jakarta. Kesepakatan kajian sejarah menyatakan, hari jadi Kota Jakarta jatuh pada tanggal 22 Juni 1527. Dengan begitu, di minggu ketiga Juni 2021 ini, kota Jakarta genap berusia 494 tahun. Usia yang sudah cukup panjang. Kendati, jika dilihat dari perspektif sejarah, maka usia itu masih terbilang belia. Masih banyak kota-kota lain di belahan bumi ini, seperti Damaskus, Yerusalem, Athena, Roma, Baghdad, atau Beijing yang punya usia jauh lebih tua lagi.
Jakarta memang masih muda. Dan itu bukan terbukti dari rentang umurnya belaka. Komposisi penduduknya juga menunjukan kecenderungan tersebut. Hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2020 menyebutkan penduduk usia produktif di Jakarta mencapai 71,98 persen dari total 10,56 juta jiwa. Usia produktif yang dimaksud adalah penduduk berusia kisaran 15 sampai 64 tahun.
Hasil sensus BPS itu juga memperlihatkan, dari 10,56 juta jiwa penduduk DKI Jakarta, hanya tinggal 1,32% yang termasuk generasi pre-boomer atau mereka yang lahir sebelum tahun 1945. Generasi baby boomer, yang lahir pada tahun 1946-1964 (usia 57-75 tahun) juga sudah tak banyak lagi, hanya sebanyak 11,09%.
Yang masih agak banyak adalah kaum STW alias setengah ‘tuwak’. Mereka yang berumur 41 sampai 56 tahun alias generasi X yang lahir di antara tahun 1965 sampai 1980. Jumlahnya sekitar 23,64%. Generasi ini tengah bersiap memasuki (atau sebagian sudah menduduki) puncak karir mereka masing-masing.
Sisanya adalah anak-anak muda. Dari seluruh penduduk Jakarta, sebanyak 26,78% adalah generasi milenial (lahir antara tahun 1981-1996). Lalu, ada 25,65% penduduk yang termasuk dalam Generasi Z atau yang lahir antara tahun 1997-2012. Ada lagi 11,25% yang tergolongkan dalam kategori post- Z atau yang lahir setelah tahun 2012.
Alhasil, 63,95% penduduk Jakarta adalah anak-anak muda di bawah 40 tahun. Komposisi ini tentu menunjukan bahwa Jakarta punya prospek cerah di masa depan. Ada potensi-potensi besar dalam diri penduduk muda Jakarta untuk membawa kota ini menjadi lebih baik lagi nantinya.
Optimisme yang dilandasi oleh komposisi usia penduduk ini tentu beralasan. Toh, dari zaman ke zaman, semangat kaum muda tidak pernah berubah. Mereka selalu bersemangat untuk menghasilkan yang terbaik. Sejak dulu, kaum muda juga senantiasa memiliki idealisme. Tan Malaka menyebutkan, idealisme adalah kemewahannya kaum muda.
Apalagi, kaum muda di Indonesia punya rekam jejak sebagai pelaksana tugas intelektual. Mereka selalu ikhlas menyebarkan kebenaran, dalam situasi dan kondisi apapun. Kaum muda Indonesia senantiasa dikenal kritis dan memiliki kepekaan sosial, punya keberanian, dan rela berkorban. Apa yang terjadi sepanjang abad ke-20 membuktikan itu semua, mulai dari tahun 1908, tahun 1928, tahun 1945, tahun 1966, hingga tahun 1998. Faktanya lagi, seluruh jejak sejarah itu tercetus di Jakarta.
Di abad ke-21 ini, kiprah anak-anak muda Jakarta masih kita nantikan terus. Yang jelas, jaman sudah berubah. Sekarang sudah masuk era digital. Kompetitor anak-anak muda Jakarta tak lagi sebatas datang dari Bandung atau Medan. Bahkan tak hanya anak muda Kuala Lumpur atau Phnom Penh. Anak-anak muda Jakarta kini dihadapkan pada persaingan dengan rival-rival mereka dari New Delhi, atau Sao Paolo, Johannesburg, Abu Dhabi, Ankara dan di belahan lain di muka bumi ini. Ranah digital membuat batas-batas negara kian pudar sehingga persaingan menjadi terbuka sangat lebar.
Lantas apa yang bisa menjadi bekal anak-anak muda Jakarta di tengah persaingan global yang kian ketat ini? Pakar manajemen Michael Porter menegaskan, untuk memenangkan persaingan, maka setiap aktor perlu memastikan dirinya benar-benar kompetitif, benar-benar memiliki daya saing yang tinggi. Dan untuk mencapai daya saing yang tinggi itu, selain berbagai strategi dan taktik yang perlu dipelajari, lingkungan yang menuntut daya saing juga akan menentukan keunggulan sang aktor.
Untuk membiasakan diri menang dalam kompetisi, kaum muda Jakarta memerlukan karakter mentalitas seorang pemenang di dalam dirinya masing-masing. Dan untuk mengetahui karakter pemenang itu, kaum muda Jakarta tak perlu mencari jauh-jauh. Sejarah Jakarta sendiri adalah sejarah kemenangan. Bukankah nama Jakarta berasal dari nama Jayakarta, kota kemenangan?
Maka jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jasmerah, kata Bung Karno. Nyaris 500 tahun lalu, pemuda Fatahillah mengalahkan tentara Portugis, salah satu kekuatan dunia masa itu, di tepi Teluk Jakarta. Fatahillah tidak menyerang dari pedalaman. Ia menggunakan armada kapal dari laut. Fatahillah memiliki budaya bahari yang tangguh, budaya kaum pesisir yang berani, yang menjadikannya menang dalam sebuah perang monumental, yang terabadikan dalam nama Jayakarta, lalu berubah menjadi Jakarta.
Fatahillah adalah seorang berjiwa muda dengan karakter budaya pesisir yang kuat. Karakter budaya pesisir menjadikan seseorang harus displin jika ia ingin bertahan hidup. Budaya pesisir memaksa setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap anak buahnya dan, pada saat yang sama, mengharuskan setiap orang taat pada pemimpinnya. Budaya pesisir menjadikan setiap orang bekerja sama dalam perannya masing-masing, rela berkoban, dan rela berbagi di antara mereka. Budaya pesisir membuat orang-orang menjadi tangguh menghadapi ancaman alam yang kerap ganas dan berubah tiba-tiba.
Karakter budaya pesisir yang semacam itu yang harus digali lagi, direvitalisasi lagi, dikembangkan, dan disebarluaskan di antara anak-anak muda Jakarta. Anak-anak muda Jakarta perlu diajak kembali mengenali laut dan segala seluk-beluknya, agar dapat menyerap intisari budaya pesisir sehingga mereka memiliki daya saing yang tinggi sekaligus mampu mewujudkan cita-cita menjadikan Indonsia sebagai poros maritime dunia. Jalesveva Jayamahe. Dirgahayu DKI Jakarta.
*Ketua Umum Forum Budaya Jakarta Pesisir