Opini

Bali dan Megawati

Oleh :  Edy Budiyarso*

Hari ini Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri sedang berada di Bali. Megawati Soekarnoputri menghadiri acara seminar “Haluan Pembangunan Bali Masa 100 Tahun Bali Era Baru 2025-2125”.

Megawati Soekarnoputri, punya darah Bali. Ayahnya Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno, beribu orang asli Bali yang tinggal di Blitar, Jawa Timur.

Darah yang mengalir di tubuh Ibu Megawati, membuatnya selalu dekat dengan Pulau Dewata. Bahkan, walaupun ada di Jakarta setiap riak-riak ekonomi, politik dan sosial Bali selalu dalam pantauan Mbak Mega.

Karena itu, tak heran jika beberapa waktu lalu Megawati Soekarnoputri, menolak rencana pembangunan bandara di utara Bali. Bandara yang juga ditolak warga Bali yang dinilai hanya menguntungkan investor, “Bali dapat apa?” kata Bu Mega kala itu.

Pembangunan untuk Bali seutuhnya, manusianya, lingkunganya, budayanya, religinya. Tak sekedar menghamba kepada hasrat pariwisata yang semakin menjauhkan Bali dari aspek lokalitasnya.

Bali dapat apa? Seperti yang disampaikan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  Ibu Megawati Soekarnoputri diterjemahkan dengan elok oleh Gubernur Bali Wayan Koster dengan semboyan “Membangun Bali bukan Membangan di Bali”.

Gubernur Bali Wayan Koster sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Provinsi di Bali, seakan memberikan guidelines, lentera yang memberi arah pembangunan seutuhnya di Bali demi masyarakat, adat, lingkungan yang terus berkesinanambungan.

Maka, wajar jika dalam kasus pembangunan Tersus LNG Sidakarya Denpasar, Gubernur pun berdiri dengan kaki yang kokoh bersama masyarakat Bali. Bali butuh energi bersih tetapi energi yang berkelanjutan, energi yang menghidupi warga Bali, bukan sekedar dibuat oleh Jakarta dan orang Bali hanya menjadi penonton.

Energi Membangun Bali  dan bukan Membangun di Bali, juga dipahami para cendekiawan Bali dari berbagai disiplin ilmu.  Doktor Ilmu Kelautan dan Pakar Manajemen Perairan Ketut Sudiarta menyebut, lokasi awal yang sudah melalui serangkaian kajian teknis dan tinggal diketok Amdal-nya di Jakarta adalah tempat terbaik dari sisi lingkungan alam dan sosial. “Saya pertaruhkan keilmuan saya,” katanya.

Pernyataan Ketut Sudiarta, bukan isapan jempol belaka. Karena model pembangunan Tersus LNG Sidakarya yang melibatkan masyarakat, dengan normalisasi kawasan berbasis “public private partnership plus community” akan menjadi contoh model pembangunan di seluruh daerah di Indonesia dimana keuntungan tidak hanya dinikmati investor tetapi juga dirasakan masyarakat setempat dan tidak merusak alam yang akan terus menjamin adanya pembangunan yang berkesinambungan.

Guru Besar Teknik Elektro Prof. Ida Ayu Giriantari, dari Universitas Udayana menyebut Tersus LNG Sidakarya adalah masa depan energi bersih Bali mempercepat Bali Zero Emision 10 tahun lebih cepat dari target zero emision nasional.

Guru Besar Teknik Perkapalan dan Desain LNG ITS Surabaya, Prof. Dr. Ketut Budha, memproyeksikan Tersus LNG Sidakarya Denpasar bisa menjadi hub energi bersih berbasis LNG bagi pembangkit listrik di Indonesia timur khususnya wilayah Nusa Tenggara Barat dan Timur.

Dengan itu, pembangunan Bali bisa diwujudkan bukan pembangunan di Bali yang melupakan masyarakat, adat, sehingga warga Bali menjadi tuan rumah yang tidak merasa disisihkan dari akar budaya dan religinya.

Karena yang lebih tahu Bali seutuhnya, adalah orang Bali sendiri. Bukan orang luar, apalagi mereka yang sekedar mencari keuntungan di Bali.

*Pemimpin Redaksi Channel9.id 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  27  =  30