Channel9.id – Jakarta. Pengurus ISNU DKI Jakarta Kartini Laras Makmur menyampaikan, hukum international tentang suap (korupsi), lebih banyak mengatur tindak pidana untuk penerima suap, ketimbang pemberi suap.
Dalam hal ini, suap internasional biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional (sebagai pemberi suap) dengan pejabat di suatu negara (penerima suap).
Perusahaan multinasional menyuap pejabat tersebut supaya produk atau jasanya bisa masuk dengan mudah di pemerintahan.
“Kajian hukum internasional yang menyinggung suap, sangat sedikit mengatur detail hukuman pidana untuk pemberi suap. Tapi yang lebih banyak orang yang menerima suap,” kata Kartini dalam Bedah Buku ISNU DKI Jakarta, Sabtu (22/8).
Hal itu dijelaskan Kartini saat mengambarkan sekilas isi bukunya berjudul ‘Cutting off The Supply Side of Corruption’ (Memangkas Sisi yang Mendorong Terjadinya Korupsi).
Kartini menjelaskan, kesepakatan internasional tentang suap yang pertama kali dibuat, tidak menjelaskan dengan rinci pidana untuk pemberi suap. Kesepakatan pertama tersebut yakni United Nations Convention Agains Transnational Organized Crime.
“Konvensi itu sangat banyak dan rinci dalam mengatur hukuman pidana untuk penerima suap. Tapi sangat sedikit untuk pemberi suap,” katanya.
Kemudian, ada kesepatan baru tentang suap. Kesepakatan itu yakni United Nations Convention Agains Corruption yang cukup mengatur tindak pidana bagi para pemberi suap.
Namun, kesepakatan international tersebut tidak wajib dipakai untuk negara-negara anggota. Pun tak ada hukuman bagi negara yang tak menggunakannya. Alhasil, kesepakatan tersebut pun menjadi formalitas.
“Lebih baru, mengatur memberi suap, tapi tidak dilakukan wajib. Artinya negara yang punya kesadaran tinggi bisa mengikuti ketentuan itu. Dengan cara memasukan peraturan tersebur ke dalam peraturan nasional mereka,” kata Kartini.
Kendati demikian, ada sejumlah negara yang menerapkan tindak pidana bagi perusahaan multinasional yang menyuap pejabat di negara tertentu, di antaranya Amerika Serikat dan Australia.
Selain menerapkan sanksi pidana, Amerika Serikat juga memberikan sanksi denda bagi perusahaan yang nakal itu.
“Selain sanksi pidana, AS juga menerapkan sanksi denda. Sanksi denda ini bisa sampai 10 ribu US Dollar bahkan mencapai jutaan berdasar persentasi suap dari perusahaan. 66 terbukti melangar dan 28 perusahaan harus membayar denda karena terbukti,” kata Kartini.
Pun peraturan di Australia tak jauh berbeda dengan Amerika Serikat. Namun, Kartini menilai, penegakan hukum untuk pelaku suap di Australia sangat lemah. Sehingga, hukum tersebut tidak diimplementasikan dengan baik.
“Di Australia, sampai saat ini, hanya dua perusahaan yang diproses. Padahal, aturan hukumnya sangat ketat. Dendanya dihitung dari seberapa besar perusahaan mendapatkan keuntungan suap, bukannya suap yang dikeluarkan perusahaan. Ini sangat besar,” pungkas Kartini.
(HY)