Channel.id-Jakarta. Badan Kehormatan (BK) DPR RI harus segera melakukan tugas dan wewenangnya untuk menonaktifkan sementara waktu wakil ketua DPR, Aziz Syamsuddin. Ia diduga melanggar etika, lantaran dianggap memfasilitasi pertemuan Walikota Tanjung Balai dan Penyidik KPK pada Oktober 2020 lalu di rumah dinasnya.
Hal itu disampaikan pengamat hukum Azmi Syahputra pada Channel9, Senin, 26 April 2021.
Azmi menilai, ada sikap mengurangi independensi insan KPK, ada konflik kepentingan, menggunakan jabatan untuk pengurusan penghentian perkara di KPK.
“Padahal, mengacu peraturan dewan pengawas Nomor 01 Tahun 2020, tentang kode etik dan Pedoman perilaku KPK. Pada bab integritas disebutkan jelas perbuatan oknum penyidik KPK melanggar, karena dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan orang yang perkaranya sedang ditangani KPK,” ujarnya, Senin (26/04).
Termasuk kebijakan baru KPK di era kepemimpinan Firli Bahuri bahwa tersangka suatu kasus tidak akan diumumkan dulu ke publik sebelum ditangkap atau ditahan. “Ini malah yang terjadi para pihak belum ada tindakan konkrit KPK, malah sudah saling dipertemukan olehnya,”katanya.
Menurut Azmi, Badan Kehormatan harus responsif, objektif dalam melihat kasus ini dan tidak boleh pula malah anggota Badan Kehormatan ikut turut mengalami konflik kepentingan. Karena bila ini terjadi, maka Badan Kehormatan tidak dapat optimal dan efektif dalam melaksakan tugasnya, yang berarti abai.
Apalagi, sambungnya, fakta atas permasalahan ini sudah disampaikan langsung melalui keterangan pers Ketua KPK bahwa ada keterlibatan personal pimpinan DPR RI.
“Masalah ini sudah tersiar di media, jadi anggota Badan Kehormatan harus segera bertindak dan memproses permasalahan ini agar diketahui letak permasalahan dan menemukan fakta, bukti dan bisa mengambil keputusan,”imbuhnya.
Baca juga: Kasus Suap Penyidik KPK, Firli Bahuri: Azis Syamsudin Mempunyai Peran
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia ini juga menyebut, penegakan kode etik dari BKD tersebut guna bagian fungsi pengawasan termasuk penindakan serta mengendalikan kualitas perilaku pejabat penyelenggara negara guna membangun kesadaran sikap integritas di lingkungan kerja.
“Dalam hal ini, di lembaga DPR dan termasuk lingkungan pergaulan hidup masyarakat dan Aziz Syamsudin harus menyadari bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai pimpinan DPR RI,”ucapnya.
Meski demikian, lanjut Azmi, penindakan dengan sanksi etika tidak menghilangkan unsur pidana sama sekali dari perbuatan yang melanggar norma ideal yang dilakukan. Karena itu, bersamaan dan atau sesudah tindakan etik ditegakkan.
“Karenanya, jika nanti KPK dalam pemeriksaaannya menemukan fakta dan terbukti bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah tindak pidana, sudah otomatis perbuatan tersebut melanggar hukum pidana dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana,”pungkasnya.