Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Utang pemerintah terus bertambah selama sepuluh tahun terakhir. Posisinya pada 31 Desember 2019 mencapai Rp4.779,28 triliun. Laju kenaikan posisi utang per tahun pada era Pemerintahan Jokowi I secara rata-rata meningkat dibanding era pemerintahan Megawati, SBY I dan SBY II.
Pemerintah terus menjelaskan, meski secara nominal meningkat pesat, rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB) tetap terkendali. Rasio sebesar 30,18% pada akhir 2019 diklaim terkendali dan tidak melanggar batas yang diperbolehkan oleh Undang-undang (60%). Bagaimanapun, rasionya cenderung meningkat dari 24,68% pada akhir 2014. Pada semua era pemerintahan sebelumnya, sejak Gus Dur, rasio menurun.
Pemerintahan juga sering menjelaskan bahwa peningkatan utang dan rasionya itu dalam rangka produktif. Kerap disosialisasi tentang berbagai proyek strategis nasional. Ditampilkan antara lain tambahan dan perbaikan jalan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik dan semacamnya.
Pihak pengkritik menyampaikan beberapa sanggahan. Antara lain berupa analisis tentang belanja modal yang tidak meningkat signifikan bahkan cenderung stagnan. Sementara itu, pembayaran bunga utang justeru meningkat pesat. Kritik lain yang lebih mendasar mempertanyakan konsep produktif yang mestinya berupa dampak atas PDB (pertumbuhan ekonomi), yang ternyata tidak mengalami perbaikan. Bukankah jalan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik tadi harusnya meningkatkan produksi nasional secara lebih cepat.
Pandemi covid-19 memaksa Pemerintah merevisi APBN secara radikal. Bukan hanya besaran, melainkan juga prosedurnya. Jika APBN Perubahan memerlukan Undang-Undang dengan segala prosesnya, maka kini hanya dengan Peraturan Presiden (Perpres). Perpres nomer 54 tanggal 3 April menjadi APBNP pertama tahun 2020. Perpres nomer 72 tanggal 24 Juni menjadi APBNP kedua.
Postur APBN 2020 menjadi berubah sangat signifikan. Belanja Negara semula direncanakan sebesar Rp2.540,42 triliun oleh APBN, direvisi menjadi Rp2.613,72 triliun oleh Perpres 54, dan diubah lagi menjadi Rp2.739,17 triliun oleh Perpres 72. Pendapatan Negara yang semula Rp2.233,20 triliun, menjadi Rp1.760,88 triliun, dan kini menjadi Rp1.699,95. Dengan demikian, defisit makin melebar, hingga mencapai Rp1.039,22 triliun.
Pembiayaan utang tahun 2020 semula direncanakan dalam APBN sebesar Rp351,85 triliun. Melonjak menjadi Rp1.760,88 triliun dalam Perpres nomer 54. Bertambah lagi menjadi Rp1.699,95 triliun dalam Perpres nomer 72. Besaran ini merupakan rencana tambahan utang secara neto melalui pengelolaan APBN.
Apakah posisi utang (outstanding) pada akhir tahun 2020 akan bertambah sebesar itu dibandingkan posisi akhir tahun 2019? Tidak demikian juga. Ada faktor tambahan, yaitu penguatan atau pelemahan kurs rupiah antara dua tanggal posisi tersebut dinyatakan. Sekitar 38 persen utang Pemerintah pada akhir 2019 merupakan utang dalam mata uang asing. Sedangkan posisi utang dinyatakan dalam nilai rupiah.
Faktor kurs ini “menguntungkan” karena rupiah menguat terhadap dolar jika dibandingkan antara 31 Desember 2019 (Rp13.901) dengan 31 Desember 2018 (Rp14.481). Tampaknya akan berbeda pada akhir 2020 nanti. Kini kurs di kisaran Rp14.500, dan Bank Indonesia menargetkan pada akhir 2020 bisa bertahan di kisaran Rp15.000. Utang akan bertambah karena faktor ini sekitar Rp195 triliun.
Dengan perhitungan demikian, maka posisi utang pemerintah setahun ini akan bertambah dari pembiayaan utang (Rp1.220,46 triliun) dan dari pelemahan kurs (RP195triliun). Faktor lain pengaruhnya sangat kecil. Posisi utang menjadi sebesar Rp6.195 triliun pada akhir 2020.
Pemerintah sendiri memprakirakan rasio utang atas PDB pada akhir 2020 berdasar Perpres 54 sebesar 36,38%. Kemudian direvisi lagi berdasar Perpres 72 menjadi 37,60%. Suatu lonjakan yang luar biasa jika dibanding akhir tahun 2019 yang hanya 30,18%.
Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2021 kepada DPR pada 12 Mei. Pembahasan KEM-PPKF merupakan bagian dari penyusunan APBN 2021. Dalam dokumen itu ada proyeksi fiskal, termasuk rasio utang atas PDB hingga tahun 2024.
Dokumen masih berdasar Perpres 54 yang memprakirakan rasio utang sebesar 36,38% pada akhir 2020. Proyeksi tahun-tahun selanjutnya berupa rentang angka, batas bawah dan atas. Jika dihitung besaran tengahnya, maka proyeksi sebagai berikut: 37,32% (2021), 37,02% (2022), 36,91% (2023), dan 36,78% (2024).
Ketika pembahasan berlangsung dalam Rapat Panja terkait di DPR tanggal 24-25 Juni, Pemerintah mempresentasikan besaran berdasar Perpres 72. Seperti yang dikemukakan di atas, prakiraan rasio akhir 2020 telah berubah menjadi 37,60%. Tidak diinformasikan proyeksi tahun-tahun setelahnya dalam paparan yang beredar di publik. Logikanya juga akan lebih besar. Akan mencapai 38% pada akhir 2024.
Tentang proyeksi hingga tahun 2024, ada baiknya kita mengingat pengalaman krisis 1997/98. Meski berbeda dan kemungkinan dampak pandemi tidak sebesar krisis dalam hal rasio utang, tetap perlu dimengerti polanya. Rasio utang terus meningkat pesat selama 4 tahun, hingga tahun 2000. Turunnya kemudian berlangsung perlahan. Setelah 16 tahun atau pada 2010 baru rasionya setara 1996.
Proyeksi rasio dari dokumen KEM-PPKF yang masih berdasar Perpres 54, mencoba mempertahankan rasio pada posisi akhir tahun 2020. Diproyeksikan hanya akan naik turun sekitar 1%. Suatu skenario yang terlampau optimis.
Satu masalah yang jelas masih akan dihadapi adalah defisit yang besar, karena pendapatan tak mudah digenjot drastis sekalipun perekonomian berangsur pulih. Sementara itu, PDB tak serta merta naik pesat, dan dimulai dari baseline yang cukup rendah akibat pandemi.
Kemampuan pemerintah membayar utang menjadi tidak terlampau besar. Laju penambahan utang memang bisa diharapkan tidak setinggi tahun 2020. Namun masih mungkin di atas rata-rata kondisi normal, atau setidaknya setara. Rata-rata kenaikan utang 2010-2019 sebesar 11,73% per tahun. Jika dilihat rata-rata kurun 2015-2019, mencapai 12,96%.
Sementara itu rata-rata kenaikan PDB nominal (harga berlaku) 2010-2019 sebesar 12,96% per tahun. Jika dilihat rata-rata kurun 2015-2019, hanya sebesar 8,48%.
Dengan demikian, kemungkinan laju pertumbuhan posisi utang masih lebih tinggi dari laju PDB nominal. Tingkat kehati-hatian bisa diperbaiki, antara lain lebih menahan diri dalam berutang dibanding era sebelumnya. Namun, ruang fiskal yang amat sempit, hanya bisa mengurangi jarak keduanya. Rasio utang tetap akan naik, meski perlahan.
Tentu realisasi masih menunggu hingga waktunya nanti. Melihat perekembangan terkini, penulis memprakirakan rasio yang lebih besar dari perhitungan Pemerintah. Defisit dan kemudian pembiayaan utang 2020 akan lebih besar dari target, sedangkan kurs rupiah berpotensi melampaui Rp15.000. Rasio utang bisa mencapai 38%. Dengan tingkat kehati-hatian yang cukup memadai pun dalam pengelolaan utang, rasio masih akan berkisar 40% pada tahun 2024.
Penulis mengakui bahwa penambahan utang memang diperlukan dalam rangka mitigasi dampak ekonomi dari pandemi. Namun tentang akan bertambah sebesar itu, dan dengan rasio yang tinggi hingga beberapa tahun ke depan, perlu penjelasan yang lebih baik. Pemerintah harusnya lebih detil dan terbuka kepada publik tentang rencana pengelolaan utangnya. Rakyat perlu mengetahui secara cukup gamblang, dan DPR mestinya menyuarakan pikiran pembanding.
*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri