Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Indonesia pada tingkat tertentu, menghadapi problem yang lebih rumit ketimbang negara lain dalam hal ancaman teror yang dilandasi oleh ideologi ekstrim-radikal. Di Amerika Serikat, ancaman teror dan kelompok teroris relatif lebih jelas sosok dan identitasnya, walaupun bukan berarti mudah untuk dideteksi dan diatasi. Kasus bom di kota Boston beberapa tahun silam umpamanya, menunjukkan bahwa ancaman teror di dalam negeri AS ternyata masih terus ada. Padahal upaya pemberantasan terorisme oleh negeri tersebut telah dilakukan secara begitu seksama, sistematis, dan menelan biaya sangat besar.
Di Indonesia, kelompok radikal dan pelaku teror berada dalam persebaran wilayah yang meluas dan merata dan ini memungkinkan mereka melakukan berbagai upaya klandestin dan bergerak dalam masyarakat. Kendati jumlah pendukung kaum radikal di Indonesia sangat kecil, namun mereka dengan mudah mampu melakukan manipulasi dan kampanye untuk mencari dukungan atau simpati melalui manipulasi informasi dan penggunaan jejaring media, baik media umum maupun media sosial. Kecilnya jumlah kelompok dan pendukung kaum radikal di Indonesia tidakberarti bahwa pengaruh mereka tidak signifikan, atau bahwa kerusakan serta kekacauan yang ditimbulkan juga kecil. Fakta yang ada menunjukkan bahwa korban-korban terorisme, baik masyarakat sipil maupun aparat, serta kerusakan harta-benda dan fasilitas, belum lagi pengaruh psikologis yang ditimbulkannya adalah sangat besar baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Ancaman radikalisme yang dihadapi oleh Indonesia telah berevolusi dibandingkan sebelumnya. Para radikalis telah melakukan regenerasi dimana jaringan generasi radikalis terbaru kini memiliki keterkaitan yang lebih kuat dengan jaringan kelompok teroris global. Pergeseran kepemimpinan terorisme global dari Al Qaeda ke ISIS mempengaruhi pula jaringan terorisme di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan jaringan kelompok radikal teroris di Indonesia kini berbaiat kepada ISIS. ISIS sendiri sangat intensif melakukan penyebaran dan propaganda ajarannya lewat media sosial di internet untuk menjaring pengikut baru yang dihadapkan mampu melaksanakan serangan di wilayah masing-masing secara mandiri.
Baca juga: Soffa Ihsan: Kelompok Teroris Jadikan Ponpes Basis Pengajaran Paham Radikal
Terorisme sesungguhnya adalah bagian dari perang. Seberapa buruk pun itu, perang adalah bagian dari peradaban manusia. Perang merupakan upaya terakhir manusia untuk mempertahankan hidup mereka melalui tindakan kekerasan secara massal yang melibatkan kekuatan militer dalam jumlah tertentu. Terorisme mempunyai karakteristik utama, yaitu penggunaan kekerasan yang meliputi pembajakan, penculikan, bom bunuh diri, dan lain sebagainya.
Wilkinson dalam Terrorism Versus Democracy (2001) membagi terorisme dalam empat bentuk, yaitu terorisme epifenomenal, terorisme revolusioner, terorisme subrevolusioner, dan terorisme represif. Menurut Wilkinson, terorisme epifenomenal adalah terrorisme tanpa tujuan yang jelas. Adapun terorisme revolusioner mempunyai tujuan khusus yaitu untuk mengubah secara radikal suatu keadaan atau sistem. Sedangkan terorisme subrevolusioner adalah teror yang bertujuan untuk menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan tertentu. Terakhir, terorisme represif adalah aksi teror yang menindas orang lain atau kelompok lain.
Strategi dan Performa
Dengan kondisi seperti ini, kontra-radikalisme di Indonesia memiliki kompleksitas yang jauh berbeda dengan negara lain seperti Amerika Serikat. Karenanya, perlu menggunakan strategi yang lebih kompatibel dengan konteks dan realitas yang ada di negeri ini. Pendekatan kekuatan dan penegakan hukum (hard power) saja tidak akan mampu menyelesaikan masalah secara tuntas. Diperlukan pendekatan kontra terorisme yang lebih efektif dan holistik. Menyitir Richardson dalam What Terrorists Want: Understanding the Terrorist Threat (2006), sebuah tujuan strategi kontra-radikalisme yang efektif tidak hanya terbatas pada pemberantasan teroris, namun juga pencegahan tindak terorisme.
Terkait kontra radikalisme, salah satu titik kritis adalah bagaimana peran intelijen di dalamnya. Peranan intelijen untuk kontra radikalisme diperlukan, dengan strategi dan performa yang lebih tepat. Secara teoritis, perumusan peran intelijen perlu diformulasikan secara lebih utuh. Dengan begitu, secara praktis, strategi intelijen akan menuai keberhasilan yang diharapkan. Gerak intelijen pada faktanya tidak sedikit yang mengalami kegagalan sehingga aksi teror terjadi dan tak terbendung. Bahkan intelijen negara maju pun yang dilengkapi dengan sumberdaya yang besar masih tetap saja mengalami intelligence failure.
Contoh kasus terjadinya intelligence failure adalah serangan teroris di Paris pada 13 November 2015. Intelligence failure terjadi pada tingkat Uni Eropa walaupun organisasi itu telah mempunyai mekanisme intelligence sharing (IHS Jane’s Intelligence Review,“Cyber-mercenary industry grows worldwide” (21 July 2015). Di Indonesia kasus aksi terorisme seperti kasus Thamrin kabar-kabarnya juga tidak lepas dari kelemahan intelijen dalam memantau pergerakan kelompok teroris. Disinilah, pentingnya penguatan peran intelijen untuk mencegah potensi munculnya aksi teror. Seiring itu, diperlukan reformasi dengan melakukan formulasi tepat untuk mengefektifkan peran intelijen di Indonesia dalam kontra terorisme.
Dalam rangka memperkuat kontra intelejen secara aktif, pelibatan intelijen secara lebih luas mendapatkan perhatian tersendiri. Sebenarnya jauh sebelum ada revisi UU terorisme No 5 tahun 2918, dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga disebutkan jika informasi intelijen dapat digunakan sebagai bukti permulaan yang dapat diajukan ke pengadilan.
Terkait pencegahan terorisme sebenarnya merupakan peran seluruh aktor keamanan nasional, yang tentu saja termasuk intelijen. Intelijen bukan satu-satunya, karena kementrian atau lembaga non keamanan nasional juga wajib berperan mengatasi penyebab terorisme di dalam dan di luar negeri, baik ekonomi, budaya, sosial-keagamaan atau politik.
Selama ini, peran intelijen dalam kontra terorisme di Indonesia dibatasi. BINsebagai kordinator intelijen nasional garda depan tidak diberi kewenangan seperti upaya perburuan secara lebih maksimal. Pengejaran yang juga merupakan tugas intelijen tidak diberikan kewenangan secara efektif untuk menangkap para teroris. Berbeda dengan negara maju, biasanya regulasi sangat mendukung untuk meningkatkan kerja gabungan dan pembagian-intelijen antara pemerintah dan hukum lembaga penegak hukum.
Kerja intelijen pada dasarnya adalah early warning, yaitu deteksi dini terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi yang membahayakan bagi negara dan masyarakat. Sebagai sebuah kegiatan, intelijen melibatkan pengumpulan dan analisis informasi serta upaya-upaya untuk menangkal kegiatan lawan. Kegiatan dikategorikan dalam 4 tipe yaitu, pengumpulan informasi, analisis informasi, operasi intelijen dan kontra intelijen. Kesemuanya ini merupakan langkah intelejen dalam rangka memperkuat pendeteksian dini keamanan nasional.
Menurut Paul Pillar dalam “Counterterrorism, Security Studies: An Introduction. (2008), terdapat beberapa elemen kontra radikalisme, yaitu mencegah bergabungnya individu ke dalam kelompok teroris, mencegah kelompok-kelompok dari menggunakan metode teroris, mengurangi kapabilitas kelompok teroris, membangun pertahanan fisik melawan serangan teroris dan meringankan dampak serangan teroris. Nah, kontra-radikalisme sendiri sebagai suatu upaya dalam menghadang dan menanggulangi persebaran dari aksi kejahatan terorisme.
Kerjasama Intelijen
Intelijen memainkan peranan kunci dalam pengambilan keputusan, karena masukan dari intelijen akan menentukan warna dari keputusan yang diambil. Intelijen sangat identik dengan kerahasiaan, termasuk sumber informasinya. Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa intelijen adalah pengetahuan mengenai ancaman, dimana ancaman adalah hasil dari perkalian antara intention, capability dan circumstance. Apabila salah satu dari tiga elemen itu bernilai nol, berarti ancaman tidak ada (Emil Mahyudin: 2016).
Dalam konteks kelompok teroris, ancaman yang ditimbulkan olehnya melalui penggunaan teknologi seperti teknologi informasi tidak dapat dipandang remeh. Bisa jadi dalam aksi mereka, korban yang jatuh tidak banyak. Namun, aksi itu telah menimbulkan ketakutan yang menyebar di kalangan masyarakat dan ketakutan itulah yang menjadi tujuan dari aksi yang dilaksanakan.
Terkait dengan kontra radikalisme, kerjasama intelijen merupakan suatu spektrum yang telah berlangsung lama. Saat ini, kerjasama intelijen cakupannya telah diperluas sehingga bukan saja untuk menghadapi aktor negara, tetapi pula aktor non negara. Melalui kerjasama intelijen, diharapkan pihak-pihak yang terlibat kerjasama dapat secara dini mendeteksi munculnya ancaman sehingga dapat mengambil langkah-langkah pencegahan sebelum ancaman itu terwujud, termasuk di dalamnya ancaman terorisme.
Salah satu kegiatan dalam kerjasama intelijen antar negara adalah intelligence sharing. Sharing dalam kerjasama intelijen merupakan sebuah tantangan tersendiri, sebab hal itu hanya dapat dilaksanakan apabila telah tercipta trust. Masalah tentang trust dalam kerjasama intelijen, pada dasarnya merupakan masalah klasik yang selalu muncul dari waktu ke waktu.
Muncul pertanyaan apakah kewenangan intelijen dapat dilaksanakan secara efektif ditengah masih kuatnya ego institusi intelijen sekaligus rivalitas antar mereka?. Masalah klasik ini bukan khas Indonesia, tetapi juga terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat yang baru dapat diminimalisasi setelah negara itu mengalami serangan 11 September.
Tampaknya upaya kontra radikalisme di Indonesia masih belum optimal karena masih adanya rivalitas yang ditengarai setiap institusi intelijen terkait belum sepenuhnya kooperatif dalam intelligence sharing. Hal ini memang sulit untuk dibuktikan pada tingkat publik. Karena dalam intelijen berlaku diktum knowledge is power, setiap institusi ditengarai menjaga informasi yang bersifat high value untuk tidak dibagikan kepada institusi lainnya karena berbagai alasan.
Kesalahan dan ketidaktepatan informasi intelijen juga dapat memiliki konsekuensi politik yang negatif seperti yang terjadi dalam kasus kegagalan intelijen AS dalam kasus informasi senjata pemusnah massal di Iraq, yang sampai saat ini tidak pernah terbukti kebenarannya. Padahal argumen adanya senjata pemusnah massal itu menjadi alasan utama yang digunakan AS untuk melakukan invansi militer ke Iraq pada tahun 2003. Sebuah tindakan pelanggaran hukum yang seharusnya dapat membuat AS dapat diajukan kepada mahkamah internasional atas pelanggaran HAM.
Menyitir AM Hendropriyono (2013), teori intelijen mengandung roh kerja yaitu keamanan nasional. Keamanan nasional kerapkali dipertentangkan dengan kebebasan individu yang merupakan salah satu dari sendi-sendi demokrasi. Hal ini sesungguhnya tidak perlu terjadi apabila kita memahami transformasi konsep keamanan yang bukan keamanan rezim, melainkan keamanan insani (human security).
Akar terorisme yang saat ini menampak adalah terorisme jaringan yang merupakan idiologi politik yang didukung oleh penetrasi dengan menggunakan simbol-simbol agama. Bagi intelijen kiranya bisa dianalisis bahwa rakyat Indonesia kerapkali mengalami malapetaka bukan karena ulah segelintir mereka yang disebut teroris, akan tetapi karena pendiaman oleh mayoritas bangsa kita sendiri. Dalam hal ini, peran intelijen penggalangan menjadi sentral, karena menghadapi terorisme yang patah tumbuh hilang berganti, jawaban yang tepat (exactus) adalah perlawanan rakyat semesta. Perlawanan model ini harus dilancarkan untuk menetralisasi ‘habitat’ terorisme, yaitu kelompok masyarakat fundamentalis yang menyukai kekerasan. Mobilisasi kekuatan rakyat semesta harus dilakukan lebih cepat (velox) daripada perkembangan habitat mereka.
Disinilah peran NGO yang bergerak dalam kontra radikalisme (CVE) perlu ditempatkan sebagai ‘tulang punggung’ dan dilibatkan secara lebih luas dan intensif. Para relawan di NGO ini bisa menjadi ‘mata, telinga dan kaki’ untuk penangkalan radikalisme yang saat ini tengah meruyak. Dan juga para pegiat NGO ini memiliki ‘kelebihan’ dalam hal komunikasi, interaksi, intersubyektivitas dan juga surveillance.
Tantangan dan Solusi
Peran intelijen untuk kontra radikalisme merupakan tuntutan dan kebutuhan yang mendesak. Kendati selama ini intelijen sudah melakukan langkah-langkah yang strategis dalam rangka kontra radikalisme. Namun demikian, peranan intelijen perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Pelibatan intelijen memerlukan ‘ruang’ yang lebih baik. Hal ini mengingat peran intelijen dalam kontra radikalisme sangat vital dalam strategi kontra-radikalisme ataupun kontra-insurgensi.
Unit intelijen perlu melakukan upaya yang lebih optimal dengan segala sumber daya dan perangkat yang ada. Dalam hal ini, dapat melakukan fungsi-fungsi seperti pengumpulan informasi, perumusan rekomendasi kebijakan politik dari informasi yang didapat penggagalan dan penangkalan rencana serangan yang akan dilakukan lawan dan infiltrasi ke dalam organisasi terorisme serta melakukan strategi penangkalan dari sana.
Sejumlah tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam melaksanakan kontra radikalisme terkait keterlibatan intelijen, membutuhkan solusi. Solusi yang utama adalah khususnya dari aspek kerjasama dan koordinasi. Disamping itu tantangan yang semakin melebar di dunia terorisme menjadi tuntutan bagi pelibatan intelijen yang lebih mendalam. Sekait itu juga terkait ancaman terorisme di dunia cyber yang menuntut kecanggihan di dalam kontra radikalisme.
UU Terorisme terbaru hasil revisi UU sebelumnya yaitu UU No 5 Tahun 2018 telah menekankan pada upaya pencegahan sebagai wujud dari pendekatan lunak (soft Aprroach). Artinya, kontra radikalisme membutuhkan langkah-langkah preventif yang lebih efektif. Disinilah peran intelijen yang mempunyai wewenang deteksi dini mendapatkan penguatan. Dengan wewenang yang lebih leluasa ini, institusi intelijen perlu terus melakukan reformasi secara internal agar dapat berperan lebih secara integratif dalam kerangka kontra radikalisme. Tentunya wajib dengan tetap mengacu pada prinsip due process of law, tak mengesampingkan hak sipil dan politik warga negara.
Penulis adalah Peneliti dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)