Channel9.id, Jakarta – Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap jika kekayaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para pejabat pemerintahannya tumbuh lebih cepat daripada kenaikan rata-rata upah buruh nasional dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam studi terbarunya berjudul Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin, Celios mengumpulkan data-data indikator ekonomi hingga kekayaan para menteri di kabinet pemerintah Jokowi. Hasilnya, Celios menunjukkan bahwa rata-rata upah di Indonesia secara nasional hanya mengalami peningkatan sebesar 2,4% dari 2019 dengan 2023.
“Sementara itu, rerata pertumbuhan kekayaan Presiden Joko Widodo mencapai 15,05% selama lima tahun terakhir,” tulis laporan Celios, dikutip Senin (30/9/2024). Tak hanya Jokowi, rombongan pejabat publik sedikitnya telah mengalami peningkatan kekayaan tahunan sebesar 8,61% pada 2019 sampai dengan 2023. Pejabat publik yang dimaksud yaitu para menteri, panglima TNI, dan kepala kepolisian di bawah kepresidenan Jokowi. Rata-rata kekayaan mereka mencapai Rp278,17 miliar selama 2019—2023. Akumulasi kekayaan tersebut meningkat sebesar 154,71% dari Rp9,65 triliun menjadi Rp24,56 triliun.
“Temuan ini semakin menegaskan bahwa pejabat publik telah menikmati kesejahteraan lebih cepat daripada masyarakat kebanyakan,” ujar laporan tersebut.
Lebih lanjut, Celios mengakui bahwa sudah ada upaya untuk meningkatkan upah minimum.
Kendati demikian, kenaikan tersebut sering kali tidak sebanding dengan inflasi dan kenaikan biaya hidup. Celios menekankan bahwa sistem pengupahan di Indonesia menunjukkan kelemahan signifikan, terutama karena dominasi pemerintah dalam penetapan upah melalui regulasi seperti Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
“Meskipun bertujuan melindungi pekerja, upah minimum sering kali tidak mencerminkan kebutuhan riil dan biaya hidup yang sebenarnya, dengan penetapan yang kurang fleksibel terhadap inflasi dan perubahan ekonomi,” tulis laporan. Rekomendasi Kebijakan Celios pun merekomendasikan setidaknya lima kebijakan praktis agar ketimpangan antara ‘si kaya’ dan ‘si miskin’ tidak semakin parah.
Pertama, pembatasan penghindaran dan pengampunan pajak pada individu atau perusahaan super kaya (tax amnesty dan family office).
Kedua, transparansi data dan pelaporan pajak perusahaan multinasional. Ketiga, pengungkapan pemilik sebenarnya (beneficial ownership) semua perusahaan, yayasan, dan entitas menuju pembuatan pendaftaran aset global. Keempat, kerja sama internasional pengungkapan pajak. Kelima, pengurangan konsentrasi kepemilikan saham perusahaan sentralistis pada segelintir orang, baik dengan konsep koperasi, konsep melibatkan karyawan dalam dewan (BOD) perusahaan, memberikan sebagian saham untuk misi sosial dan lingkungan, dan transisi perusahaan menuju lebih demokratis atau dimiliki bersama (coopetition).
Director of Fiscal Justice Celios Media Wahyudi Askar pun tidak menampik bahwa perekonomian Indonesia telah tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir. Kendati demikian, sejalan dengan itu ketimpangan ekonomi juga semakin dalam. “Pengukuran yang terlalu berfokus pada angka-angka makroekonomi sering kali melupakan makna hakiki dari pembangunan, yaitu memastikan bahwa manfaat dari pertumbuhan ekonomi benar-benar menyentuh seluruh lapisan masyarakat,” jelas Media.