Channel9.id – Jakarta. Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 RI, Soeharto, sebagai tindakan yang tidak relevan dan problematik. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan ketentuan hukum dan menimbulkan persoalan sosial-politis.
“Gelar pahlawan nasional untuk Soeharto tidak relevan dan problematik,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (25/4/2025).
Ia menjelaskan, secara yuridis, syarat pemberian gelar pahlawan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Ada syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan dianugerahi gelar tersebut.
“Syarat umum yang diatur Pasal 24 UU adalah sebagai berikut: 1) WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; 2) memiliki integritas moral dan keteladanan; 3) berjasa terhadap bangsa dan negara; 4) berkelakuan baik; 5) setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan 6) tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Hendardi menyebut Soeharto tidak layak mendapat gelar tersebut jika mengacu pada poin keempat tentang syarat berkelakuan baik. Ia menyinggung pelanggaran hak asasi manusia serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terjadi selama masa Orde Baru.
“Mengacu pada syarat umum poin 4 (empat), Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional karena berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik, belum pernah diuji melalui proses peradilan. Belum lagi soal Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh keluarga dan elite inti di sekitarnya,” jelas Hendardi.
“Akumulasi persoalan itu yang secara objektif menjadi penyebab utama Soeharto dilengserkan oleh Gerakan Reformasi 1998. Pendek kata, Soeharto tidak memenuhi syarat umum berkelakuan baik,” tambahnya.
Ia juga menyoroti tidak adanya proses hukum maupun klarifikasi politik yang memadai terhadap berbagai pelanggaran yang diduga terjadi pada masa pemerintahan Soeharto. Menurut Hendardi, hal ini memperkuat alasan bahwa gelar tersebut menjadi tidak relevan.
“Tidak adanya klarifikasi politik yang memadai dan ketidakmungkinan putusan pengadilan mengenai kejahatan yang dilakukan oleh dan terjadi pada pemerintahan Soeharto menjadi penegas bahwa pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto menjadi tidak relevan,” ucapnya.
Dari sisi sosial-politik, Hendardi berpendapat bahwa pemberian gelar tersebut justru dapat memicu kebangkitan kembali semangat Orde Baru. Ia menilai hal itu berpotensi mendelegitimasi gerakan Reformasi yang menggulingkan Soeharto pada 1998.
“Dari sisi politis, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan menjadi simbol dan penegas bagi kebangkitan Orde Baru atau Kebangkitan Cendana. Glorifikasi Soeharto dengan memberinya gelar pahlawan nasional akan mendeligitimasi Reformasi sebagai gerakan politik untuk melawan otoritaritarianisme dan menegakkan supremasi sipil pada 1998,” ujarnya.
Secara sosial, kata Hendardi, pemberian gelar itu bisa menciptakan kebingungan di kalangan generasi muda. Ia menilai hal ini berisiko membelokkan pemahaman sejarah politik Indonesia.
“Gelar pahlawan nasional bagi Soeharto seperti ‘menghapus’ sejarah kejahatan rezim di masa lalu dan menciptakan kontradiksi serta kebingunan kolektif tentang seorang pemimpin politik yang dilengserkan karena akumulasi kejahatan yang terjadi, namun pada saat yang sama sosok itu bergelar pahlawan nasional,” sambungnya.
Sebelumnya, Soeharto diusulkan sebagai calon Pahlawan Nasional 2025 oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025. Pengusulan ini disebut dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat.
“Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kita. Jadi memang prosesnya dari bawah,” ucap Menteri Sosial Saifullah Yusuf, dikutip dari situs resmi Kementerian Sosial.
Namun, wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto ini menimbulkan polemik di masyarakat. Di samping jasa-jasanya sebagai presiden, sosok Soeharto diliputi kontroversi dan catatan hitam, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia serta dugaan korupsi.
HT